Sejak tiba di sekolah, gue udah ngerasa perut gue mulai nggak enak. Mules. Bukan karena PMS, tapi, entah, gue juga nggak tau. Dan sebenarnya gue nggak perlu heran. Karena ini emang penyakit gue hampir setiap pagi beberapa menit setelah gue sarapan. Tapi, ini bakal berlangsung sementara aja. Jadi gue nggak perlu khawatir soal itu.
Yang gue khawatirin adalah jam pertama pelajaran olahraga di kelas. Gue paling nggak bisa berdiri lebih lama kalo dalam keadaan sakit perut seperti sekarang. Apalagi, ini olahraga!
Seperti biasa, kalo gue sakit perut, gue bakal membungkukkan badan untuk menumpukan dahi di atas lipatan tangan gue di meja. Gue juga sudah menyiapkan minyak angin yang akan gue oles di perut jika memang perlu.
"Va, lo sakit perut lagi?"
Gue mengangkat kepala untuk melihat Sovi yang baru saja datang. Cewek itu duduk di sebelah gue. "Ya, ampun, Va! Muka lo pucet banget! Lo nggak mau ke UKS aja?" Suaranya kedengaran panik. Seperti Sovi Heboh yang gue kenal.
Gue mendecak. "Plis, Sov. Gue nggak mau jadi pusat perhatian di koridor karena harus jalan kayak orang sakit! Kayak gue orang penyakitan aja pagi-pagi gini udah masuk UKS," omel gue nggak terima.
"Ya terus lo mau gimana? Gue harus diem aja gitu ngeliat sahabat gue sendiri sakit sampe hampir pingsan kayak gini?"
"Sov, gue nggak hampir pingsan, kok. Jadi lo tenang aja," kata gue. "Lagian lo juga udah tau, 'kan, gue emang sering kayak gini kalo pagi? Nggak lama lagi pasti bakal ilang, kok, sakitnya." Setelah itu, gue kembali ke posisi semula, berharap tidak mendengarkan lagi ocehan Sovi.
Gue tau dia khawatir. Tapi, gue juga nggak suka khawatir yang berlebihan. Lagipula, ini sesuatu yang bisa gue atasi sendiri.
"Ya udah kalo gitu, Va. Lo nggak usah ikut olahraga dulu, ya."
Gue mengangguk dengan lemah tanpa mengangkat kepala.
"Gue ganti baju dulu."
Sekali lagi, gue mengangguk. Setelah itu, gue hanya mendengar decitan kaki kursi yang bergesekan dengan lantai. Sovi berjalan pergi ninggalin gue di kelas.
Tak lama kemudian, suara berisik di sekitar gue perlahan menghilang. Gue mengangkat kepala untuk melihat situasi kelas, dan gue mendapatinya kosong. Hanya tinggal gue sendiri. Mereka pasti lagi ganti baju buat olahraga.
Gue baru saja akan kembali ke posisi semula ketika gue mendengar pintu kelas (pintu kelas ada di depan meja gue) terbuka. Refleks gue melirik, dan Aron berjalan masuk.
Buru-buru gue kembali menunduk. Gue memejamkan mata rapat-rapat. Buat apa gue harus ngehindar gini, sih?
"Eh, E-Eva? Lo kenapa?"
Gue langsung mengangkat kepala. Sebelum gue berkata apa-apa, dia lebih dulu menyela, "Lo lagi sakit, ya?"
Ya, mungkin dia menebaknya dari muka pucat gue. Jadi, gue mengangguk sebagai jawaban.
"Ya udah, lo lanjut istirahat aja," kata Aron sambil meletakkan tasnya di bangkunya.
Gue mengangguk sekali lagi, dan akhirnya kembali ke posisi semula. Tapi, gue nggak bisa tenang. Sampai kemudian gue denger Aron melangkah melewati tempat gue, hendak menuju pintu.
"Lo nggak apa-apa gue tinggalin sendiri?"
Gue mengangkat kepala lagi bersamaan dengan jantung gue yang serasa mau meledak. Duh, kenapa Aron tiba-tiba perhatian gini sama gue?
"Iya, ng--nggak apa-apa, kok," gue menjawab dengan cepat.
"Oke ...,"-dia mengangguk pelan dan ragu-"gue keluar kalo gitu."
Gue mengangguk cepat untuk yang terakhir kalinya sebelum gue kembali menunduk.
Dan yang terakhir gue dengar terucap dari mulut Aron sebelum dia benar-benar keluar adalah ....
"Hati-hati, Va." Suaranya terdengar sangat pelan, tapi tulus.
Tepat ketika pintu dibuka dan Aron beranjak keluar, gue--sekali lagi--mengangkat wajah, menatap pintu yang baru saja ditutup.
Yang gue rasain sekarang terlalu rumit untuk gue jelasin secara detail.
Gue senang, terharu, dan ... bangga.
Ya, gue bangga bisa menjadi salah satu cewek yang pernah jatuh hati untuk seorang Aron.
Dia mungkin memang cowok pemalu.
Tapi, satu hal yang bisa gue pastikan tentang dirinya.
Dia ... tau cara memperlakukan perempuan dengan baik.
💘
Pernah suatu hari ....
Kelas gue sedang agak kacau untuk mencari teman kelompok masing-masing dan ngumpul di satu tempat (pembagian kelompok bahasa Indonesia ini acak). Tempat duduk gue yang letaknya di ujung depan kelas, harus melesat ke ujung belakang kelas, tempat teman-teman sekelompok gue berkumpul.
Sesampainya di sana, gue mengamati sekeliling hanya untuk mendapati semua kursi sudah terpakai. Dan selama beberapa detik gue melihat keberadaan Aron duduk di sebuah kursi yang menempel di tembok. Kelompoknya berkumpul di sebelah tempat kelompok gue. Sumpah, di tempat itu sempit banget karena banyak tas berserakan di lantai dan gue harus menerobos masuk untuk mencapai tembok dan bersandar di sana.
Karena seisi kelas sudah tenang dan siap untuk mengikuti arahan Bu Jasmin, gue terpaksa berhenti mencari kursi kosong (ya, gue menemukan kursi gue masih kosong, dan cuma orang bodoh yang mau bersusah payah berjalan dari ujung ke ujung dengan berbagai halangan yang ada cuma untuk ngambil satu kursi kosong dan bakal jadi pusat perhatian karena harus lewat di depan mereka semua termasuk Bu Jasmin). Jadi, gue bersandar saja di tembok.
Dan satu meter di samping kanan gue, Aron duduk tenang sambil memangku alat tulisnya.
Lalu, tanpa sengaja gue melihat dua kursi yang bertumpuk tepat di tengah-tengah gue dan Aron (bodohnya, gue baru nyadar sekarang), di atasnya ada sebuah tas yang gue yakini milik Olivia. Tadinya gue ingin meminjam satu dari tumpukan dua kursi itu. Tapi, mengingat Olivia adalah tipe cewek yang keras dan kurang bersahabat--dia juga Ketua Osis--maka gue mengurungkan niat itu. Lagipula, ini cuma sebentar doang. Nanti, setelah Bu Jasmin selesai menjelaskan tugas kepada kami, gue bebas melanjutkan pencarian kursi kosong.
"Va, lo nggak duduk?"
Gue mengalihkan pandangan ke arah Renata di depan gue. Pertanyaan cewek yang rambutnya dijepit jedai itu mengundang perhatian orang-orang di kelompok sebelah--kelompok Aron.
"Eh, nggak apa-apa."
Belum satu detik gue mengatakannya, gue mendengar Aron berbicara.
"Astaga, Va ...." Dia menggumam sambil mengangkat satu dari tumpukan kursi tadi--tasnya sudah diambil Olivia--dan menyediakan kursi itu untuk gue.
Gue tercengang.
"Ini, duduk." Dia menepuk kursi itu tanpa menatap gue.
Dengan gugup gue duduk di kursi yang disediakan Aron itu, dan diam-diam meliriknya.
Cowok itu benar-benar tau bagaimana memperlakukan wanita dengan baik.
Mungkin, jika gue bisa menebak, Aron pasti memegang prinsip: lo nggak bisa biarin cewek berdiri sementara lo sebagai cowok enak-enakan duduk.
Terkadang, justru bentuk perhatian dan kepedulian dalam hal-hal yang serderhana dari seseorang yang spesial bagimu itu lebih tulus dan menyentuh hatimu.
💘
KAMU SEDANG MEMBACA
Too Shy And Too Late [COMPLETED]
Short StoryIni kisah tentang dua hati yang saling memendam rasa. Tentang dua lidah yang terlalu kelu untuk sekadar menyapa. Tentang dua pasang mata yang terlalu malu untuk menatap lebih dari sedetik. Tentang dua hati yang berdebar di saat mereka berdekatan. Da...