"Adeeva."
"Aron."
Diam-diam, gue membelalak. Dan reaksi diam-diam gue itu hanya gue, Sovi, dan Tuhan yang tau.
Gue berusaha mengontrol diri supaya nggak bereaksi berlebihan--padahal dada gue serasa lagi ada kembang api, meledak-ledak. Karena kalo itu sampe terjadi, Aron bakalan curiga. Soalnya dia duduk dua barisan di belakang gue. Dia bisa dengan cepat melihat sesuatu yang gue lakuin di sini.
Sovi diam-diam nyikut gue pelan. "Sekarang keberuntungan berpihak sama lo, Div."
"Dan Rangga."
Demi apa, gue sekelompok sama Aron dan sahabatnya, Rangga!
💘
"Um ...." Gue melirik Rangga yang duduk di dekat gue. Dia menggaruk pelipisnya dengan canggung. "Nggak ada yang mau ngomong ini?"
Gue sama Aron cuma senyum-senyum doang.
"Yaampun. Demi apa coba gue sekelompok sama ini dua patung." Gue tertawa kecil saat gue liat dia nenggelamin mukanya di balik tangan yang dilipat di atas meja.
Ah, seandainya aja gue nggak ada rasa suka sama Aron. Seandainya aja gue nggak gugup di dekat dia. Seandainya aja gue berani natap matanya, mungkin gue sama Rangga bakal jadi yang paling heboh di sini. Karena gue pun nggak tahan dengan situasi awkward kayak sekarang ...
... yang bikin gue malah jadi tambah malu.
"Oke!" Rangga mukul meja, kemudian narik napas dalam-dalam. "Kerja kelompok kapan? Gue nggak bawa laptop sekarang soalnya. Buku juga gue nggak bawa. Jadi sekarang kita nentuin kapan kerja kelompoknya. Kalo bisa, sih, sebelum hari Jumat, karena Bu Mia, 'kan, nyuruh tugasnya dikumpul hari itu." Rangga menjeda sebentar, "Jadi, kapan?" tanyanya sambil bersedekap.
"Um ... hari Kamis aja, gimana?" gue memberi usul.
"Tapi kalo Kamis kita ngerjainnya bakal buru-buru, deh. Soalnya waktunya cuma sampe Jumat. Dan gue nggak yakin kalo power point-nya bakal selesai tepat waktu." Gue lirik Aron yang baru aja menanggapi usulan gue. Bener juga, sih, waktunya cuma dikit kalo ngerjain tugasnya dari Kamis.
"Jadi, besok aja?" Rangga menyimpulkan.
Gue sama Aron ngangguk.
"Di mana?"
"Rumah gue aja?" Aron menawarkan sambil natap Rangga dan gue bergantian. Dan tepat ketika dia berakhir natap gue, itu berlangsung lebih sedetik.
Entah kenapa, gue merasa sorot mata Aron seolah menunjukkan sesuatu yang lain, seperti maksud dari tatapannya itu bukan menanyakan perihal tawarannya sebelumnya, tapi ...
"Iya, rumah lo aja, Ron." Gue langsung mengalihkan pandangan ke arah Rangga, lantas mengangguk menyetujui.
"Lo juga ... nggak keberatan di rumah gue, kan, Va?" Gue kembali natap Aron yang baru aja nanya gue.
Dan gue ... berusaha untuk nggak peduli dengan hati gue yang tiba-tiba berdebar. "Iya, nggak masalah, kok." Gue masang senyum terbaik yang gue punya, untuk Aron.
💘
![](https://img.wattpad.com/cover/114508328-288-k106750.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Too Shy And Too Late [COMPLETED]
Short StoryIni kisah tentang dua hati yang saling memendam rasa. Tentang dua lidah yang terlalu kelu untuk sekadar menyapa. Tentang dua pasang mata yang terlalu malu untuk menatap lebih dari sedetik. Tentang dua hati yang berdebar di saat mereka berdekatan. Da...