Gue menghela nafas, menatap gedung sekolah gue dari luar, sebelum akhirnya gue melangkah masuk. Hari ini sekolah kembali dimulai setelah kurang lebih tiga minggu liburan natal.
Malesin, sih, sebenernya. Rasanya libur masih kurang dan pengen guling-gulingan di tempat tidur. Dan sekarang, gue sudah harus belajar lagi, ketemu pelajaran, guru, dan tugas-tugas yang menanti.
Oke, mari lupakan sisi nggak enaknya.
Di samping banyaknya hal yang gue nggak sukai tentang sekolah, gue punya dua orang yang selalu menyemangati hari-hari gue. Pertama, sahabat gue yang nyaris gila itu, si Sovi. Kedua, Aron.
Pagi-pagi gini, biasanya Aron belum datang. Dia selalu datang kurang lima belas menit sebelum pelajaran dimulai. Bahkan pernah beberapa kali, dia nyaris terlambat. Sementara gue, selalu menjadi yang tercepat, kadang juga gue jadi yang pertama masuk kelas.
Ada dua jalur untuk menuju kelas gue. Pertama, naik tangga ke lantai dua di dekat gerbang, jalan dari ujung sampai ujung, kemudian berbelok, lalu jalan lagi dari ujung sampai ujung--soalnya letak kelas gue ada di ujung sana (susah banget dijelasin ini). Kedua, gue harus menyeberangi lapangan terbuka dalam sekolah, sampai gue naik di koridor dan ketemu tangga lagi menuju lantai dua. Dan sudah pasti, jalan termudah adalah yang kedua. Makanya gue selalu make jalan kedua.
Sampai di lantai dua, gue hanya perlu berbelok dan berjalan lurus untuk sampai ke kelas.
Sambil gue melangkah dengan santai, gue melihat sosok cowok yang dari belakang terlihat nggak asing. Cowok itu sedang membungkuk dan meletakkan kaki kiri di atas salah satu kursi panjang depan kelas. Rupanya, dia lagi ngikat tali sepatu.
Dan setelah gue melihat tas hitam yang terpasang di punggung cowok itu, barulah gue sadar, itu Aron!
Karena alasan apa coba, dia datang sepagi ini, di saat sekolah lagi sepi-sepinya. Gue refleks ngecek jam tangan gue, sekarang baru pukul enam lewat dua puluh menit. Sementara pelajaran mulai pukul tujuh lewat lima belas menit.
Gue masih berjalan, dekat, dan semakin dekat dengan Aron yang masih ngikat tali sepatu. Gue nelan ludah dengan susah payah. Semakin dekat gue makin gugup. Kebiasaan deh kayak gini!
Apa gue harus nyapa, ya?
Ah, nggak usah deh, nanti, kan, ketemu di kelas.
Tapi masa iya gue lewatin gitu aja seolah-olah kita ini orang asing?
Ah, pura-pura aja nggak liat.
Jujur, gue pengennya, sih, nyapa. Tapi ..., lidah gue terlalu kelu buat bersuara, manggil namanya.
Dan gue nyaris tersentak melihat dia berdiri dengan posisi tegak--dia baru aja selesai ngikat tali sepatu--di saat gue baru akan melewatinya. Dia tiba-tiba menoleh, sepertinya dia juga kaget dengan kehadiran gue.
"E-eh, hai," akhirnya gue nyapa juga meski sambil tersenyum kikuk.
Kayaknya, ucapan 'selamat pagi' lebih terdengar wajar bagi teman sekelas dari pada sapaan 'hai'.
Tapi untungnya, gue melihat Aron tersenyum. Mungkin dia tidak merasa itu adalah hal yang aneh. "Hai," sapanya balik.
Setelah sapaan singkat itu, gue akhirnya sampai di ambang pintu kelas, lebih dulu dari Aron. Gue nggak berani noleh-noleh ke dia lagi. Jadi, gue masuk cepat-cepat, menutup pintu, kemudian bersandar sebentar untuk menenangkan detak jantung gue yang memburu.
Tenang, Div. Masa cuma sekedar nyapa doang gue gugup gini, sih?
Lagian, ini bukan kali pertama. Sebelumnya, gue juga pernah ada di dalam situasi yang sama dengan Aron.
Gini, ya, buat orang yang lagi diem-diem suka sama seseorang. Rasanya lidah ini terlalu kelu untuk sekedar menyapa.
💘
KAMU SEDANG MEMBACA
Too Shy And Too Late [COMPLETED]
Short StoryIni kisah tentang dua hati yang saling memendam rasa. Tentang dua lidah yang terlalu kelu untuk sekadar menyapa. Tentang dua pasang mata yang terlalu malu untuk menatap lebih dari sedetik. Tentang dua hati yang berdebar di saat mereka berdekatan. Da...