Gue merasa ... semua hal di dunia ini dapat berubah seiring berjalannya waktu. Terutama tentang perasaan manusia.
Seseorang yang kalian cintai hari ini, bisa saja jadi orang yang kalian benci besok. Dan itu terjadi pada Sovi dan David.
Mereka tidak lagi seperti dulu. Tidak saling mengobrol, menyapa, tersenyum, bahkan saling menatap satu sama lain pun tidak.
Intinya adalah ... mereka tidak lagi saling peduli. Mereka berusaha saling melupakan.
Dan itu entah kenapa menyayat hati gue, mengingat gue juga sedang ada dalam posisi Sovi. Berusaha melupakan. Tapi gue tau, apa yang Sovi alami jauh lebih berat dari gue.
Di saat-saat terakhir sebelum dia ninggalin sekolah ini, dia malah harus melepas David, cowok yang dia cintai. Dulu.
Dan gue bisa melihat kesedihan itu dari mata Sovi ketika dia mencoba berdiri tegap di depan cermin.
"Mau berapa jam lagi berdiri di situ, Mbak? 5 menit lagi kita udah harus ke aula, lho ...," kata gue. "Gue udah enek cium bau wc dari tadi, Sov."
Sovi langsung meluk gue sambil memanyunkan bibirnya layaknya anak kecil yang nangis dan meluk mamanya. "Bentar lagi kita lulus, Va! Gue belum siap!" Dan air matanya tumpah juga akhirnya di jas almamater gue.
Terima kasih banyak, Sovi.
Gue tau, Sovi bukan nggak siap untuk lulus. Dia belum siap ninggalin sekolah yang sudah memberinya terlalu banyak kenangan, dan dia harus meninggalkan semuanya sebentar lagi.
Jadi, gue nepuk-nepuk punggungnya untuk nenangin dia.
"Kenapa semuanya harus berubah di saat-saat terakhir?"
Gue cuma bisa menghela nafas karena nggak bisa menjawab pertanyaan itu. Dan entah kenapa gue juga mau tau ... kenapa semuanya harus berubah seburuk ini di saat-saat terakhir?
💘
"Besok adalah malam terakhir kalian bisa bertemu satu sama lain sebagai siswa-siswi SMA. Malam terakhir di mana kalian bisa menciptakan kenangan untuk yang terakhir kalinya bersama teman-teman sekolah. Ibu mau kalian tidak mengacaukan malam besok. Acara promnight-nya harus berjalan dengan lancar dan berakhir jam 10. Tidak lebih lama dari itu. Kalian mengerti?"
"Mengerti, Bu!" Seluruh siswa-siswi yang berkumpul di aula menyahut, termasuk gue dan Sovi.
Besok ... malam terakhir gue bisa mengenang masa-masa SMA untuk terakhir kalinya. Dan terlalu banyak hal untuk dikenang, termasuk ... seorang cowok yang duduk di deretan kursi di depan gue.
Aron datang lebih cepat dari gue karena gue harus nungguin Sovi di kamar mandi. Dia sempat menyapa teman-teman di deretan tempat duduk gue, tapi gue dan Sovi bukan salah satunya. Entah kenapa, gue merasa dia sedang berusaha menghindari gue dan Sovi. Bahkan melirik ke arah kami pun nggak sama sekali.
Gue pun sadar ... segala hal tentang kami telah berubah. Ya kecuali status kami sebagai teman sekelas selama tiga tahun berturut-turut. Nothing special between us.
Bohong jika gue bilang gue merasa baik-baik aja tentang itu.
"Va! Lo, kok, ngelamun?" Sovi tiba-tiba menyadarkan gue.
Gue melihat teman-teman sekelas gue yang lain udah pada berdiri. "Eh, ada apa?"
"Lo nggak dengar tadi kepala sekolah nyuruh kelas kita maju ke depan? Mau ngasih tanda penamatan."
"Oh ...." Gue segera berdiri menyusul yang lain yang sudah siap berjalan ke depan podium.
Kami membentuk barisan untuk menunggu giliran. Barisan laki-laki berada di depan barisan perempuan. Dan karena gue yang paling lambat bergerak, gue dan Sovi nggak bisa mengambil tempat di paling belakang. Jadilah gue berdiri di barisan cewek paling depan, tepat di belakang ....
Aron!
Gue berteriak dalam hati begitu sadar cowok di depan gue adalah Aron. Apa ini cuma perasaan gue aja ... Aron, kok, jadi tambah tinggi? Postur tubuhnya tampak lebih bagus dan sedikit lebih berisi dari Aron yang dulu gue kenal. Kacamatanya masih sama. Hanya saja fisiknya lebih sempurna dari yang dulu.
Apa mungkin dia nge-gym?
Gue tiba-tiba seakan merasa dia bukan lagi Aron yang dulu gue kenal. Aron yang dulu selalu berpenampilan sederhana, tidak peduli masalah fisik. Dia juga berdiri lebih tegap dari yang biasanya.
Teman-teman sekelas gue mulai naik ke podium satu per satu untuk menerima tanda penamatan dan menjabat tangan para guru sambil mengucapkan terima kasih. Gue melangkah pelan mengikuti barisan laki-laki di depan.
"Eh, sabar dong!"
Gue mendengar teriakan Sovi di belakang gue, dan sebelum gue melihat apa yang terjadi, barisan di belakang gue tiba-tiba terdorong yang membuat gue otomatis ikut terdorong ke depan.
Parahnya lagi, gue masih menabrak punggung Aron meskipun gue sudah berusaha sekuat tenaga untuk menahan dorongan dari belakang.
Gue sudah menduga ini. Aron akhirnya berbalik.
Tapi raut wajahnya berubah seketika ketika melihat gue di belakangnya. Dia menatap gue seakan tidak tahu harus berbuat apa.
Dan pada akhirnya, dia menyunggingkan senyum. "Eh, Eva."
Jujur, dia tampak sangat natural saat menyapa gue. Gue jadi kaget dan salah tingkah.
Jadi gue cuma memaksakan senyum. "Eh, elo ...." Itu balasan macam apa coba? "Hmm .... Besok lo ikut promnight, kan?"
"Ikut ...." Gue seakan ingin melompat kegirangan sekarang juga. Setidaknya gue masih bisa ketemu dia besok. "Mungkin."
"Ah ...." Gue manggut-manggut aja. Mendengar kata 'mungkin' di akhir itu selalu membuat gue kecewa.
"Elo?"
"Gue?" Gue menunjuk diri sendiri. "Hmm .... Gue datang, kok."
Aron mengangguk-angguk. "Gue nungguin kabar David sama Rangga aja, sih. Kalo mereka ikut ya gue ikut."
Dalam hati gue cuma bisa berharap, semoga lo dateng. Setidaknya gue pengen lihat lo untuk terakhir kalinya. Karena gue tau setelah malam besok kita nggak bakal ketemu lagi.
Persetan dengan semua fakta yang membuat gue harus ngelupain lo.
Gue cuma mau ngelihat lo besok ... sebelum kita bener-bener berpisah.
💘
Last partnya ditunggu, ya :'(
KAMU SEDANG MEMBACA
Too Shy And Too Late [COMPLETED]
Short StoryIni kisah tentang dua hati yang saling memendam rasa. Tentang dua lidah yang terlalu kelu untuk sekadar menyapa. Tentang dua pasang mata yang terlalu malu untuk menatap lebih dari sedetik. Tentang dua hati yang berdebar di saat mereka berdekatan. Da...