"Kalau suka harus totalitas. Karena kalau setengah-setengah gak kenyang."
- Tanvi Opel Amaranggana -
*****
Aib ini berbaris paling depan di otak gue. Ingatan masa anak itik yang gak bisa gue lupain, karena ini awal mula seorang Opel terkenal.
Ya, gue udah populer dari jaman bendera merah putih, atau istilah umumnya anak ingusan (gue gak pernah setuju sama istilah ini, karena gue jarang ingusan, lebih sering ileran).
Gue udah mandiri sejak pertama kali masuk sekolah, saat itu umur gue masih enam tahun dan cukup dua kali diantar jemput Nyokap, biar Nyokap gak start syndrome pas gue terkenal. Gue emang gak pernah masuk kelas Taman Kanak-kanak, karena emang bukan level gue.
Gue pernah bilang sama nyokap pas gak sengaja kuping gue denger anak TK nyanyi lagu cicak-cicak di dinding sama gurunya. Mereka tepuk tangan satu kali berbarengan pas sampai lirik 'Hap! Lalu ditangkap.'
"Kok mereka nurut aja sih, Ma? Emang cicak bisa tepuk tangan? Jatoh dong dia nanti kalo nepok nyamuk?" kata gue.
Dari situ Nyokap berpikir kalau gue terlalu cerdas buat di-bego-in. Mustahil cicak bisa tepuk tangan, apalagi kalo sampai jago break dance.
Jadi Bokap juga setuju untuk masukin gue ke sekolah dasar aja di pagi hari, sorenya gue ke Taman Pendidikan Al-qur'an atau TPA, karena orang tua gue seorang muslim. Hal ini juga dilakukan supaya gue nanti gak jadi anggota teroris karena pemahaman agama yang salah. Kecerdasan gue terlalu berbahaya kalau salah jalan. Begitu katanya.
Kalau elo anak jaman sembilan puluhan, bersyukurlah elo pernah kenalan sama superhero dalam negeri.
Terutama gue yang berpikir kalau gue juga punya kekuatan super, contohnya gue bisa sampai ke sekolah tanpa harus jalan kaki. Kaki gue juga gak perlu napak ke tanah sampai pagar sekolah, karena gue naik ojek langganan, Bang Usem.
Acara televisi yang biasa gue tonton itu superhero jadul. Gue gak dibolehin nonton kabar artis, karena Bokap takut nanti ketika gue udah besar jadi presenter acara gosip atau jeleknya cuma bisa gosip bareng ibu-ibu di tukang sayur keliling.
Bokap emang se-agamis itu, gue gak heran juga karena gue kan anaknya."Gue pilih rangers yang merah! Gila itu keren banget," seru gue kegirangan.
Adik laki-laki gue yang cuma beda tiga tahun dari gue cemberut. Saat itu dia adik gue satu-satunya, karena adik gue yang satu lagi belum berhasil menerobos gawang. "Tapi kan rangers merah itu cowok, Teh! Itu kan harusnya Aku."
Ya, jangan salahin gue kalau gue jadi lebih suka hal yang berbau laki, karena semenjak adik gue, Elvan Androcles Kafeel atau gue sering panggil Oces ini lahir, mainan gue udah bukan boneka lagi, tapi pistol-pistolan, miniatur dinosaurus, mobil-mobilan, dan banyak hal yang bisa dimainin berdua, biar hemat biaya kata Nyokap. Lebih ke pelit, medit, amit-amit sih sebenarnya.
Jadi ya, tontonan televisi gue juga semacam kesatria baja hitam, power rangers, kartun dragon ball, yang bisa ditonton kami secara adil tanpa harus adu panco.
Nyokap tiba-tiba datang menghampiri kami, "Teteh itu perempuan, harusnya suka sama yang pink atau yang kuning. Cantik juga kok yang jadi rangers pink-nya sama kayak Teteh Opel."
Gue langsung mengernyit jijik, gue benci warna pink sama kuning yang herannya, tokoh wanita pada memilih warna itu.
Gue mungkin setuju kalau pemerannya ngikutin kecantikan gue, cuma gue antipati sama warnanya. Saat itu, warna pink mengingatkan gue sama babi, gue geli. Warna kuning juga mirip kotoran bayi tetangga gue yang masih pakai popok. Mulai dari situ gue benci superhero wanita.
Tapi semuanya berubah saat gue nemu Saras 008 di TV. "Loh, itu bukannya baju yang barusan Mama setrika ya, Teh? Ya ampun ... kayak gak ada baju lain aja kamu ini!"
Ya, gue merasa seperti titisan Saras 008. Selain itu gue juga suka tokoh Srikandi.
Sampai sablonan gambar itu makhluk di baju gue yang baru kering, di setrika, langsung gue pakai lagi. Segitu setianya gue sama karakter fiktif. Apalagi sama pacar gue nanti, ya kan?
Sampai suatu saat, ketika gue ujian kenaikan kelas dua, Nyokap gue dipanggil ke sekolah sebelum pembagian raport. Jantung gue seperti diajak kuda-kudaan takut nilai gue anjlok. Tapi gue rada heran juga karena guru kelas setiap ketemu gue kayak nahan kentut gitu.
Kesimpulannya, mungkin karena gue terlalu lucu waktu kecil. Bisa jadi.Dan elo tahu apa yang terjadi setelah Nyokap keluar ruangan guru di mana gue berdiri di depan ala bodyguard gitu?
Nyokap gue ketawa puas banget sampai gue takut lalat ijo nyangka mulut Nyokap adalah sarang terbaik buat mereka.
Beliau kasih gue beberapa lembaran kertas jawaban, "Bu Ina kebingungan, semua kertas ini punya siapa? Guru kamu itu gak merasa punya anak murid yang namanya begini. Sampai rekap nilai kemarin, akhirnya ketahuan anak yang nilainya masih kosong. Nge-fans boleh, Opel. Tapi jangan di bawa ke pelajaran." Begitu nasehat Nyokap setelah bisa mendisiplinkan ketawanya.
Gue cuma mengernyit bingung dan sepasang biji mata gue langsung tertuju ke nama pemilik lembar jawaban ini secara gak sengaja.
Srikandi Sarasvati.
Apa ada yang salah dengan nama itu? Gue pikir seluruh umat manusia tahu kalau gue titisan Srikandi dan Saras 008.
Gue pikir itu nama bakal keren malah, kalo ada di kertas ujian nasional gue nanti.
Nyokap gue ngetawain apa sih?
Orang tua emang aneh.
TBC
-*-*-*-
Opel gemesin kan?
Awas jatuh cinta loh! wkwkSkala 1-10, berapa tingkat kelucuan part ini?
Salam somplak,
Ali15 Oktober 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Topela
HumorIni bukan diary, bukan pula struk tagihan hutang. Ini hanyalah keresahan dan kenangan seorang manusia yang berasal dari kecebong Papa dan lubang surga milik Mama. Jangan baper, karena tulisan ini tak berfaedah sama sekali. - Tanvi Opel Amaranggana...