Orang jaman sekarang suka selfie, narsis, foto alay berkali-kali tapi cuma disisakan satu biji di galeri. Sedangkan gue --entah sampai umur berapa, cuma lihat pantulan diri di kaca aja gue bisa teriak-teriak karena takut lihat muka sendiri.
Lebay? Lo gak ngerti aja, karena belum pernah punya kulit mirip mayat. Ditambah lagi, Bokap gue lagi suka banget film horor, itu loh legendaris kita: Suzanna.
Gue bahkan sampai sengaja ikut si Oces main layangan tiap pulang sekolah, main sepeda ke komplek yang jauh dari rumah --dan pasti dimarahin Bokap karena doi takut kita diculik, atau apapun itu gue lakukan, which is di siang hari yang sangat terik. Tapi hasilnya nihil cyin, kulit gue masih segitu-gitu aja.
Kalaupun berhasil, kulit gue mirip ular belang, cokelatnya gak rata. Bahkan si Oces pun cuma bisa berubah agak normal sedikit.
Bukannya sombong, tapi mungkin emang gue keturunan arwah kali ya, sinar matahari sampai tembus pandang gitu gak ada efeknya ke kulit gue. Makanya di rumah itu gak ada foto keluarga yang dipajang lagi sejak reaksi gue yang heboh setiap lihat muka sendiri.
Iya, segitunya. Daripada anak mereka yang satu ini gak bisa tidur kan?
Untungnya dulu gue masih kecil, yang kalo pake bedak belepotan dibilang gemes dan rambut keriting gak jelas dibilang lucu. Semua itu terjadi ya karena gue selalu asal-asalan templokin bedak ke muka dan nyisirin rambut tanpa ngaca.
Kalo diterapkan sekarang, wah... jelas menghemat waktu kan?
Cuma siap-siap aja viral di sosmed sebagai banci taman lawang, atau "GAWAT! Orang ini kesurupan ondel-ondel Pekan Raya Jakarta!".
"Teh Opel, kata Mama besok lusa Oma mau datang ke sini," kata Oces.
"Oh yaudah," balas gue tak acuh.
Oces menarik game bot yang sedang gue pegang secara paksa. Gue pun mendelik kesal, "Apaan sih? Jangan rese deh!"
Oces memukul pundak gue dengan benda sialan itu, mungkin dipikir dia itu mirip busa kali ya jadi gak bakalan sakit. "Gue bilang, Oma mau datang ke sini lusa. Oma ini woy, bukan Nenek!" serunya dengan gaya sok dewasa. Banyak gaya emang ini bocah cilik.
Otak gue sedikit demi sedikit mulai bekerja secara normal. WAH... INI SIH MALAPETAKA!!!
Jedderrrr.....
(Suara petir ceritanya, biar asik)Nenek adalah sebutan kita untuk Ibu dari Bokap yang beretnis Sunda, doi orangnya baik, sampai kita ridho dicium-cium doi walaupun ada wangi khas nenek-nenek gitu.
Beda halnya dengan Oma, itu adalah panggilan kami ke Ibu dari Nyokap dari suku Jawa. Jawa yang ini lucu menurut gue, soalnya kuping gue sering dengar kata "Inyong".
Oces sih sebenarnya gak ada masalah apapun dengan Oma, begitupun penghuni rumah lainnya termasuk ayam-ayam gue yang mulai akil baligh.
Tapi Oma terlalu sentimen sama gue, dan ini yang bikin gue panik sekarang. Orang jawa itu terkenal dengan budaya sopan santun yang kental sekali, sedangkan gue bisa dibilang pembangkang tingkat tinggi dari peraturan itu.
"Makan jangan terdengar suara!"
Alhasil setiap ada doi, gue harus menghabiskan waktu hampir setengah jam untuk mengunyah makanan dengan mulut tertutup dan mengambil makanan di piring super hati-hati supaya tidak ada dentingan sendok.
KAMU SEDANG MEMBACA
Topela
HumorIni bukan diary, bukan pula struk tagihan hutang. Ini hanyalah keresahan dan kenangan seorang manusia yang berasal dari kecebong Papa dan lubang surga milik Mama. Jangan baper, karena tulisan ini tak berfaedah sama sekali. - Tanvi Opel Amaranggana...