4. Ciuman Pertama

144 20 12
                                    

"Enggak selamanya yang pertama itu yang paling indah.
Enggak selamanya yang pertama itu yang paling berkesan."

- Tanvi Opel Amaranggana -

*****

Sebelum gue jadi anak sulung, gue pernah merasakan indahnya jadi anak tunggal. Kenapa gue bilang indah? Karena saat itu gue bisa memonopoli kedua orang tua gue, terutama Nyokap. Bokap gue pasti jengkel, gara-gara gue dia pasti sulit mesra-mesraan sama Nyokap.

Nyokap gue kerja di sebuah rumah sakit, bagian administrasi. Dulu gue terpaksa dibawa ke rumah sakit karena gak ada yang jagain di rumah. Untuk yang satu ini, gue menyesalkan hal itu terjadi.

Karena nyokap dulu bekerja di pavlin kenanga, di sana ruang inap untuk para pasien yang mengidap penyakit serius (alamat mati kalo gak ketolong). Anak kecil juga emang gak seharusnya di bawa ke rumah sakit kalo dia gak sakit.

Ini awal mula gue terinfeksi virus tuberculosis, dan memicu asma gue sampai sulit disembuhkan. Nyokap bilang, selama dua tahun, gue udah makan banyak hati hewan. Ati onta, gak ngaruh banyak. Ati kalong, belom bisa menyembuhkan secara total. Terakhir ternyata cukup ampuh, Ati monyet.

Sekarang gue ngerti, kenapa pas gue dewasa kebanyakan sering makan ati. Karena dari kecil gue udah sering makan ati. Harusnya gue gak terkejut atas fakta ini.

Gue juga ngerti, kenap gue bisa seperti magnet yang menarik perhatian hewan berbulu alias monyet. Tapi sejak gue tercakar, gue takut sama monyet, dan gue benci kenyataan ini. Gue benci karena monyet-monyet suka gue.

Bermula dari saudara Bokap yang ternyata melihara monyet, dari dia kecil sampai jadi Babon, itu monyet suka banget jambak rambut gue dan bikin gue jerit-jerit ketakutan. Mulai dari situ gue seperti punya insting untuk menjauh setiap kali gue harus berpapasan sama fans gue itu. Monyet adalah bahaya siaga tingkat tiga.

Setelah itu gue kesepian, gue pengen pelihara hewan tapi gue bingung hewan apa. Gue pengen punya kucing, tapi Nyokap marah. "Kamu punya asma, Opel!"

Ya, emang saat gue minta kucing, asma gue lagi parah-parahnya.

Terus gue berinisiatif untuk melihara burung. Burung kan gak bakal terbang kemana-mana, dia cuma loncat-loncat di dalam sangkar. Tapi itu sebelum gue kejatohan poop burung waktu gue lagi berteduh di bawah pohon nunggu Nyokap keluarin motor di parkiran rumah sakit.

Hal yang paling membuat gue semakin membenci burung, adalah kata-kata tukang parkir waktu kepala gue ada kotoran burung. "Wah, Neng. Itu burungnya suka kali sama Eneng!"

"Kalo orang kena kotoran burung karena itu hewan suka sama orangnya, gue gak mau lagi ditaksir burung," pikir gue kala itu.

Jadi, burung adalah hewan kedua yang gue hindari secara sengaja.

Gue pernah terpikir untuk pelihara ular, gara-gara gue ngerasa ular itu baik dan suka peluk orang. Pemikiran itu timbul karena adegan tante-tante yang nari sama ular di ragunan. Keren kan kalo gue bisa begitu?

Tapi lagi-lagi gue dibuat ketakutan. Ada ular sanca besar ditemukan di selokan komplek gue. Tepatnya di pangkalan becak. Kalo dipikir-pikir gak aneh juga, karena selokan di pangkalan becak itu emang besar. Mungkin juga itu ular peliharaan salah satu warga yang hilang.

Ular penemuan baru itu di pindahkan ke dalam sebuah drum minyak yang kosong. Gue yang excited, semangat ngajak Nyokap buat liat penampakan itu. Tetangga gue yang udah lihat bilang ke Nyokap, "Aman kok, kepala ularnya udah ditutup pakai kaos kaki."

Gue sempat berpikir keras dan akhirnya mengangguk sendiri, setuju dengan pemikiran gue yang masuk akal. "Mungkin ularnya mabok terus-terusan nyium sikil (bau kaki)."

Berhubung tinggi gue cuma setengah drum minyak itu, jadi Nyokap dengan bijaknya menggendong gue. Cukup ramai juga yang nontonin pertunjukan gratis ini. Nyokap gue sebenarnya takut, gak percaya kalo tindakannya yang mengikuti rasa gembira gue itu aman.

Tapi gue yang berkutat dengan pemikiran tante-tante penari ular, dengan semangat menjulurkan kepala gue untuk melihat isi drum minyak itu. Di luar dugaan, ular sanca yang semula melingkar seperti sebuah sabuk itu dengan cepat menjulurkan kepalanya ke arah gue. Semua orang yang lihat kejadian itu memandang gue ngeri. Ngeri karena cuma gue yang bikin si ular kelihatan gak tenang. Mungkin dia terpesona sama gue.

Kesimpulannya, sebelum cerita Twilight lahir, gue udah terlebih dahulu jadi magnet pemikat bahaya sebelum Bella Swan. Jadi seharusnya yang jadi pemeran Bella itu bukan Kristen Stewart, tapi gue. Cuma sayangnya, tahun 2008 gue belum jadi anak SMA.

Pemikiran gue untuk punya ular pun akhirnya terpatahkan.

Di saat gue memilih pasrah kesepian gak punya teman berantem, Bokap gue bawa kardus ke rumah setelah pulang kerja. Gue kira isinya susu, atau snacks kesukaan gue. Tapi pas dibuka, isinya ada lima anak ayam, dua ayam setengah besar dan tiga anak ayam yang kalo diinjak juga bakal mati.

Awalnya gue mengernyit heran, tapi gue langsung lompat-lompat bahagia pas Bokap bilang, "Ini hewan peliharaan Opel. Ayam-ayam ini cerdas, jadi cocok sama Opel."

Ayam-ayam itu pun ikut melompat gembira di dalam kardus ketika melihat gue lompat-lompat. Oke, gue percaya mereka emang cerdas.

Fakta lain kalau mereka cerdas, mereka gak pernah buang kotoran di dalam rumah sekalipun mereka diberi kebebasan keluar masuk rumah gue. Mereka di kandang cuma kalo gak ada orang di rumah dan sehabis maghrib. Mereka bebas ikut duduk sama gue nonton TV atau pun lari-larian di dalam rumah.

Sampai suatu hari, gue lihat anak temen Nyokap yang sama-sama dibawa ke rumah sakit dan sama-sama dititipkan di penitipan anak karyawan, dicium bibir sama ibunya. Gue yang cuma dicium kening sama Nyokap bingung, tapi iri juga.

Ibu itu sadar gue perhatiin, dia senyum sama gue, dia tahu gue itu kepo-nya kebangetan. "Itu cara keluarga Ibu mengungkapkan rasa sayang, Opel. Tapi cukup keluarga Ibu aja, anak Ibu baru boleh cium bibir orang lain kalau nanti sudah besar."

Gue pun akhirnya mengangguk mengerti. Nyokap gue mengambil napas lega melihat gue yang setuju dengan ucapan teman kerjanya tanpa banyak bertanya lagi.

Ketika gue pulang, dan bertemu dengan keluarga ayam. Saat itu gue baru sadar, mereka gak punya orang tua. Mereka cuma pura-pura bahagia di depan semua orang, padahal mereka sedih. Kalo kesandung mereka bangun sendiri, gak ada Papa yang bantuin mereka berdiri. Setiap malam peluk diri sendiri, gak ada Mama yang memberikan mereka kasih sayang.

Seketika gue murung, gue pengen nangis melihat cobaan hidup mereka. Gue gak bakal bisa bertahan andai gue jadi mereka. Gue sayang mereka, dan gue gak mau mereka pura-pura bahagia di depan gue. Mereka harus tahu kalo gue peduli sama mereka.

Gue teringat kata-kata temen kerja Nyokap tadi dan tanpa berpikir panjang, gue ciumin bibir ayam itu satu-persatu. Bokap gue yang berniat untuk memberi makan para ayam itu bergeming, dan Nyokap gue keliatan seperti kena serangan jantung. Terutama setelah mendengar gue bilang, "Ini cara Opel menunjukkan kasih sayang Opel."

Mungkin di kepala Nyokap gue berputar-putar adegan tadi pagi dan dia menyesal, "Harusnya gue gak pernah percaya kalo Opel bisa menerima sesuatu dengan cara yang normal."

Percayalah ketika gue dewasa, gue berharap suami gue nanti gak akan pernah tahu kalo pemilik ciuman pertama gue adalah seekor ayam.

TBC

*****

Hayooo ... first kiss kalian siapa? Hahaha

Salam somplak,
Ali

25 November 2017

TopelaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang