12. Meniru itu Baik

82 10 2
                                    

"Ma, ada orang di depan!"

"Siapa, Opel?"

"Tanya sendiri sama orangnya atuh, masa nanya sama Opel? Emangnya Mama ngelahirin dukun?"

Setelah itu pasti kepala gue benjol dicium bogeman Nyokap. Kata Nyokap, gue makin gede makin banyak tingkah. Lah, bukannya dari bayi juga gue emang ngegemesin ya?

Terus gue juga gak tahu sih makna kata gede di sini apanya, soalnya badan gue kan kecil dibandingkan teman-teman sebaya gue yang kebanyakan anak laki-laki. Bahkan sampai mata gue aja kelewat irit.

Belum lagi gue payah menghafal nama orang, kalo ada kasus orang datang ke rumah, rata-rata jawaban gue sama kayak tadi. Kemungkinan lainnya bisa jadi lebih sopan, bisa jadi minta dimutilasi gitu.

"Assalamualaikum!"

Nyokap membiasakan kita yang jaraknya paling dekat ke pintu depan, wajib menjawab dan menghampiri tamu tersebut. Sialnya, udah pasti selalu gue. Karena jendela kamar gue persis dekat pintu pagar, cuma tersisa jarak 2 meter untuk tanaman di pot-pot kecil. Jadi emang otomatis paling kedengaran sama gue, apalagi kalo orang itu pencet bel yang sengaja dipasang di atas pintu kamar gue karena itu paling strategis ke segala bagian rumah.

Sungguh sangat tak adil, Nyokap gue sih emang gitu. Sensian sama gue doang, heran.

"Wa'alaikum salam, ada apa ya Pak?" tanya gue berusaha sopan.

"Eh, Opel. Bapaknya ada?"

Kening gue berkerut, "Di sini gak ada yang namanya Bapak, Pak. Salah rumah kali...."

Orang itu cengengesan, "Opel nih bisa aja! Maksud saya Papanya Opel ada di rumah?"

Gue menggelengkan kepala, "Gak ada, lagi mancing."

"Terus di rumah adanya siapa?"

Gue menatap orang ini curiga, "Mau maling ya? Nanyain ada orang apa enggak segala. Opel emang bukan orang?"

Seonggok manusia di depan gue agak syok dengan respon gue yang tiba-tiba berpose seperti kucing. Mungkin doi sekarang liat gue berubah jadi Cat Woman.

"Eh... bukan, bukan. Maksud saya itu, Mamanya Opel ada di rumah gak?"

Gue berdiri membusungkan dada dan berjinjit supaya terlihat lebih tinggi. "Mau apa nanyain Mama? Mama sayang kita, sayang Papa. Jangan berani-berani ambil Mama Opel ya, hadapin Opel sini kalo berani!" ancam gue agresif.

Om-om ini terlihat menarik napas dan mengelus perutnya yang buncit dengan kertas. 'Buset, apalagi nih? Jangan bilang ternyata mau lapor Nyokap, gara-gara abis dihamilin Bokap gue?'

"Opel, Bapak ada perlu sama Papanya Opel. Tapi kalau adanya Mama Opel juga gak papa, nanti kan bisa disampaikan ke Papa Opel."

"Kenapa gak ke Opel aja? Opel juga bisa kok bilang ke Papa nanti," sahut gue tersinggung merasa tak dianggap.

"Karena ini urusan orang dewasa, maaf ya Opel kan masih kecil. Bisa tolong panggil Mamanya?"

Gue mengeluh tanpa sadar, "Orang gede kenapa sih suka sok tua gini ya? Padahal kan yang masih kecil nantinya juga bakalan gede!"

"Hm... gini deh, tolong panggilin Mamanya ya, saya mau minta dana sumbangan, semacam patungan gitu untuk acara pengajian rutin RT kita besok malam." Ternyata kedengaran, untung muka gue gak gampang merah kayak babi.

"Ohh... bilang kek! Masuk dulu Pak, kalo Bapak bilang kan Opel udah mempersilakan duduk dari tadi. Tunggu sebentar ya Pak," tutur gue sesopan mungkin. Kalian tahu sendiri lah, sopan ala gue itu macam apa.

TopelaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang