Welcome to the new world!
Selamat tinggal kelas dua. Selamat tinggal pangeran monyet. Kutitip kecupan manja itu untukmu.
Ini apa sih? Gak jelas!
Semoga tulisan ini gak pernah dibaca oleh tokoh figuran itu, Ya Tuhan ....Next!
Hari pertama berada di wilayah teritori antah berantah ini cukup berkesan. Teman pertama gue ialah tetangga sendiri, anak perempuan seumuran dengan Oces. Anak semata wayang yang akhirnya senang punya teman main.
Tapi Opel tetaplah titisan Saras 008, jadi gak level dengan permainan anak perempuan. Hal ini menyebabkan anak itu langsung ilfeel sama gue gara-gara bonekanya gue corat-coret mirip bajak laut. Rambut barbie-nya gue sasak konde.
Terakhir, laptopnya nge-hang karena gue yang terlalu gemez liatin dia mainan boneka time zone gak dapet-dapet. Gue berhasil dengan bangga gue unjukin ke dia, tapi gue bengong juga saat benda kotak canggih itu gak berfungsi lagi. Mampus.
Gue cuma bilang kalo gue ngantuk, dan ngibrit ke dalam rumah. Sangat bertanggung jawab, bukan?
Buat gue, yang paling menyenangkan dari rumah baru ini adalah rumput di halaman depan. Gue rasa penghuni sebelumnya cukup rajin buat ngurus rumah. Gue berandai-andai bisa liat langit malam-malam tiduran di rumput kayak di film-film, dan selamat! Sebentar lagi terwujudkan.
Tapi kalo siang ... panas!
Gak ada pohon sama sekali di depan rumah gue, eh rumah Bokap maksudnya. Maklum, perumahan baru, karena katanya di sini hutan --sebelum dijadikan perumahan. Warna cat-nya juga bikin mata gue sakit, Pink!
Berasa rumah peternakan babi, hewan yang bikin gue geli cuma dari liat gambarnya sampai sekarang, gak ngerti kenapa. Padahal banyak orang yang suka boneka babi pink, katanya lucu.
Ngookkk!
Lucuan juga gue, ya kan?Tapi gue bukan babi, dan gak perlu jadi babi buat bikin orang ketawa.
Oke, Opel mulai ngelantur sekarang.
Kesan baiknya di lingkungan baru ini, gue berasa tinggal di pedesaan dan gurun pasir di saat yang sama, gue juga punya lukisan yang bisa gonta-ganti setiap hari.
Kesan buruknya, gue gak punya teman. Gue bisa kembali kesepian, andai ayam-ayam yang sekarang keliatan lebih tua dari gue itu gak ikut pindah rumah.
Anak perempuan di sekitar rumah gue rata-rata seumuran Oces --tiga tahun lebih muda dari gue-- mereka gak se-level sama gue, karena masih pada suka pipis di celana. Sama kayak Oces, sama kayak gue juga --eh, kadang, gak sering.
"Opel, bantuin Mama sini. Bungkusin ayam-ayam yang itu ke plastik ya. Satu-satu aja."
Gue dengan lesu lunglai letih dan lemas terpaksa menggerakkan kaki gue lebih dekat ke perkumpulan ibu-ibu yang berisik di rumah gue. Gue gak tega nyentuh ayam-ayam yang siap dimakan itu.
"Wah, ini anaknya Ibu yang paling gede, ya? Cantik, kulitnya putih. Gemes deh!" Seorang Ibu yang cukup berisi mencoba basa-basi sama Nyokap gue.
Nyokap gue tertawa kecil, "Tapi dia justru takut liat wajahnya sendiri kalau difoto. Mirip mayat katanya."
"Anak kecil emang lucu ya, Bu? Ngegemesin tingkah lakunya. Ada aja yang bikin ketawa," sahut Ibu rumah tangga yang lain.
"Dia bikin saya ketawa bukan karena ngegemesin, Bu. Tapi karena kelakuannya diluar ekspektasi saya," jawab Nyokap yang membuat hampir seisi rumah yang sederhana ini tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Topela
HumorIni bukan diary, bukan pula struk tagihan hutang. Ini hanyalah keresahan dan kenangan seorang manusia yang berasal dari kecebong Papa dan lubang surga milik Mama. Jangan baper, karena tulisan ini tak berfaedah sama sekali. - Tanvi Opel Amaranggana...