Tiga Kata

16 7 0
                                    

Aku membaringkan diri di atas kasur menatap langit-langit. Aku tertawa kecil tak bisa membayangkan seorang papa yang biasanya selalu garing bisa humor dadakan.

Tawa kecil ku terhenti membentuk senyuman lebar dan mata berbinar ketika aku mengingat sosok yang membuatku berubah menjadi patung seketika. Siapa lagi kalau bukan Putra.

Di gendang telingaku yang terngiang hanya nama dan isi dari kertas emas sebagai hadiahnya untukku.

Aku membuka instagram Putra dan menyimpan fotonya di galeri. Mengganti wallpaper handphoneku dengan fotonya.

Aku menatap layar handphone sambil mengusap-usap. Tersenyum lalu memeluk handphone.

Aku membuka jendela. Sepoi-sepoi angin malam memasuki sela-sela jari dan rambutku.

Tampak bintang-bintang menghiasi langit kota ini. Dan pemandangan kota terlihat berhiaskan kunang-kunang yang terdiam.

Aku terus menyalakan dan mematikan handphone berulang-ulang menunggu sebuah panggilan atau pesan dari seseorang.

Aku terus menunggu. Menunggu sesuatu yang tak pasti kutahu akan terjadi atau tidak itu menyakitkan.

Tapi hatiku berkata usaha tidak akan menghianati hasil. Untuk itu aku tetap berusaha menunggu meskipun hasilnya antara iya atau tidak.

Aku membuka laptop dan mencetak foto Putra. Aku sengaja membiarkan jendela tetap terbuka berharap angin malam menyampaikan salamku untuknya.

Aku berdiri dan mengambil buku diary di rak. Entah apa yang terjadi padaku saat ini. Mungkin aku kerasukan? Sepertinya tidak. Hatiku mengendalikan segalanya untuk melakukan hal yang gila!

Tangan ini mulai bergerak membuka helaian kertas menuju halaman kosong berikutnya. Mengambil pulpen menulis 'Dear Diary' dan lem membasahi foto itu. Aku menempelnya dengan lembut.

Kembali mengambil pulpen dan menulis apa yang disuruh oleh hatiku.

'Aku tak tau apa yang harus kutulis di buku ini. Intinya hari ini begitu spesial di hidupku.'

'Yaaahh mungkin ini kelihatan gila! Tau kan?'

'Okay sekian dulu ya.'

Hanya itulah yang kubuat di atas kertas putih yang sudah ternodai saat ini. Saluran imajinasi tersumbat oleh perasaan hati yang misteri.

Aku menutup jendela. Dinginnya angin malam mulai memenuhi kamar. Aku mematikan laptop dan tetap meletakkannya di atas meja belajar begitu saja. Aku membuka dan menutup buku diary berulang-ulang. Aku tahu aku kurang kerjaan.

Aku kembali melihat handphone yang tadi kuletakkan di atas kasur, mengharapkan dia. Tapi harapan mungkin masih diawal.

Aku membuang handphone dan diriku di atas kasur bersamaan. Aku menatap langit-langit. Dan entah kenapa semuanya menjadi gelap.

***

Keesokan Hari....

Aku kembali menjalani kegiatan yang lumrah bagi sosok murid adalah neraka. Apa lagi kalau bukan sekolah.

Tapi bedanya sekarang ada seorang big boss. Dan aku sudah tidak sabar menaiki mobil Verari berwarna merah tersebut.

"Pa cepetan pa! Tara takut telat nih!" Aku sengaja menyuruh papa cepat-cepat mengantarku. Bukan karena sekarang pembinaan. Tapi aku rindu naik mobil verari dan tentu saja rindu dengan Putra.

"Iyaiya. Mama! Papa nganterin Tara sekolah dulu ya!"

"Iya pa hati-hati!" Teriak bubu yang sedang menyiapkan masakan untuk teman papa yang akan bertamu nanti.

HURUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang