ZIA

7 2 0
                                    

"Viona..."

"Kenapa kamu bisa berubah?"

"Aku tau yang kemarin itu kamu."

"Aku tau kamu sudah tercyduk."

"Makanya kamu keluarin kata-kata Gue Lo milikmu."

"Tapi...."

"Kenapa kamu bisa berubah, Vi?"

"Aku tau kamu menyembunyikan sesuatu."

"Dan aku bisa pastikan itu..."

"Aku akan membongkarnya."

Tepat selesai sudah pelajaran Matematika, pelajaran paling dibenci semua siswa dengan angka-angka terornya yang menakutkan.

Entah kenapa setiap siswa melihat angka-angka dan rumus-rumus dalam Matematika, mereka seperti diteror dan dihantu-hantui. Untuk itulah siswa sangat takut jika berhadapan dengan persoalan yang bernama MATEMATIKA.

Tapi, mungkin kalian berpikir bahwa aku pecinta Matematika. Tapi itu semua benar tetapi salah.. Ha?

Sungguh aneh apa yang digumamkan dalam pikiran orang-orang. Aku menyukai pelajaran Fisika. Tapi entah mengapa Matematika aku tidak favoritkan. Justru aku sangat takut dengan pelajaran itu, apalagi waktu ujian.

Padahal sama-sama angka ya gak? Apa bedanya?

Bahkan, aku mempelajarinya sampai larut malam tidak juga masuk ke otak. Bahkan, lebih parahnya lagi disaat aku sedang kesusahan menghadapi cobaan si Matematika hiks. Aku menangis sodara-sodara.

Apakah di antara kalian ada yang sama sepertiku?

***

"Hei Tara!" Panggil seseorang dengan suara yang tak asing kudengar. Akupun menoleh ke belakang.

"Oh. Hai Putra. Gak pulang?"

"Ni dah mau jalan pulang. Balik bareng yuk!" Senyum Putra yang seperti Papa membuatku teduh begitu saja.

"Ehmm gak usah deh Put. Aku bisa balik sendiri."

"Gak baik lho cewek balik sendiri. Ayolah Zia." Putra menarik tanganku membawaku ke parkiran.

Selama Putra mengantarkanku pulang, aku hanya bisa diam. Entah apa yang terjadi pada diriku saat ini. Panggilan Zia tak asing lagi kudengar.

"Zia? Siapa yang pernah manggil aku dengan sebutan itu?"

"Siapa?" Aku terus bergumam. Mencoba mengingat siapa yang pernah memanggilku dengan panggilan yang sangat akrab itu.

"Tara. Udah sampai nih."

Aku terus melamun dan tetap duduk di bagian belakang motor Putra.

"Tara." Putra melambai-lambaikan tangannya lalu memetikkan jarinya.

"I...iya Put?"

"Kita udah sampai di depan rumah kamu."

"Oh ud..udah sampai ya." Aku segera turun dari motor Putra. "Makasi banyak ya Putra."

"Sama-sama Zia." Putra mengelus pucuk rambutku dan melajukan motornya.

Aku hanya menunduk. Wajahku sedang memanas saat itu. Rasanya seperti slow motion.

Aku memasuki rumahku. Aku merasa sangat bahagia untuk saat ini. Mungkin bukan saat ini yang kuharapkan. Aku ingin bahagia selamanya. Dan semua orang pasti mengharapkan itu.

Tetapi ketika aku sampai di kamar. Aku merasakan aura yang aneh. Seperti seseorang sedang mengawasiku.

Aku berusaha untuk tenang. Aku menatap cermin dengan tas yang masih kugendong. Dan benar saja. Ada seseorang terpantul dari cermin. Tapi sayang sekali aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas.

Aku tak mungkin memecahkan cermin untuk yang kedua kalinya macam lagu Raisa punya.

Aku berusaha untuk tenang. Tapi orang yang bayangannya terperangkap di cermin itu memanggilku.

"ZIA."

Aku pun memberanikan diri menoleh ke belakang. Tetapi tak ada orang di sana.

HURUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang