#TrueShortStory
Some feelings are left unsaid.
Megan dan Owen adalah sahabat sejak kecil. Saat hubungan mereka semakin akrab, Megan yakin menyukai Owen, secara diam-diam. Ia menyimpan rasa sukanya itu untuk waktu yang lama.
Tapi sayang sekali, sahab...
Seminggu bersekolah bagi Megan tidak membuatnya tenang. Ia selalu merasa dihantui. Setiap berjalan di lorong sekolah, ia akan menunduk dalam. Traumanya akan pengalaman di sekolah dulu belum juga hilang.
Cukup mengherankan ketika Megan hanya melihat sedikit murid yang ia kenal dari sekolahnya dulu. Tidak ada siswa jahat yang dulu pernah ada di gedung olahraga di hari naas itu.
Megan menjadi sedikit takut memikirkan kalau seandainya ia bertemu Owen lagi. Untungnya, ada beberapa sekolah di daerahnya ini dan Owen memilih sekolah yang lain.
"Kau pasti bisa, Megan. Angkat kepalamu dan berjalan dengan percaya diri. Tidak akan ada yang merendahkanmu kecuali kau mengijinkan mereka melakukannya."
Itu perkataan Claire. Siapa yang percaya jika gadis cantik itu akan bersama Megan sampai saat ini. Ia bahkan menomorduakan kesenangannya demi membantu Megan.
Seminggu ini, Megan akui ia dan Claire mendapat godaan dari siswa lain. Claire dengan tegas menolak mentah-mentah saat ada senior yang mengajaknya jalan. Padahal Megan tahu, Claire senang dengan ajakan seperti itu.
'Dia terlalu palyboy.'
'Senior itu punya pacar, Megan.'
'Laki-laki itu terlalu baik.'
Alasan-alasan itu yang selalu keluar dari mulutnya seminggu ini.
Claire menepuk pundak Megan saat mereka menuju kelas pertama hari ini.
"Aku tahu kau masih takut bertemu orang-orang jahat dari sekolah kita yang dulu. Tapi percayalah Megan, setiap pandangan pemuda-pemuda yang melirik kita bukan hanya untukku. Kau hanya harus mengangkat kepalamu untuk melihat itu. Lupakan masa lalumu, oke?"
Sudah seperti itu seharusnya, pikir Megan.
Masa lalu harus benar-benar dikuburnya dalam-dalam, persis ketika ia membakar semua kenangan dari Owen.
Megan menatap Claire yang menjauh menuju kelas pertama. Ia heran mengapa gadis secantik Claire harus ditakdirkan bertemu dengan dirinya. Apakah ia yang mendapat hadiah dari surga atau Claire yang sedang sial. Tapi takdir masih menyatukan mereka.
Megan kembali tersadar dari lamunan. Ia menarik napas dan melangkah dengan sedikit percaya diri menuju kelas pertama.
***
Hampir empat jam berlalu dan dua kelas berganti dengan cepat, sekarang Megan merasa kelaparan. Ia berjalan gontai menuju cafetaria untuk bertemu dengan Claire. Ia sedikit tertawa karena Claire hanya satu-satunya yang bisa ia temui di sekolah ini.
Ya, Megan memang tak menawarkan secara terang-terangan sebuah pertemanan. Ia juga tidak menutup kesempatan itu. Ia hanya menunggu seseorang melakukan itu pertama kali.
Di tengah jalan, Megan dihadang seorang pemuda. Megan sungguh terkejut, sekiranya orang ini akan membully-nya lagi. Dari penilaian sekilas, Megan tahu pemuda itu bernama Sean Foster. Pemuda berambut pirang yang disebut-sebut sebagai anak kepala sekolah di sini.
"Hai," sapanya. "Boleh kita sekolompok dalam kelas Chemistry?" tanyanya tiba-tiba. Megan melihat Sean menawarkan tangannya untuk dijabat tapi tak digubris Megan.
"Bukannya tadi guru kita sudah memilihkan kelompok?" komentar dingin Megan pada pemuda itu.
"Betul, tapi aku tidak puas dengan pilihan Mrs. Gerald tadi. Semester ini kita satu kelompok, oke?" Sean mengedipkan mata. Ia pergi dari Megan secepat ia datang.
Megan merasa bingung. Apa-apaan pemuda itu? Ia bergegas menuju cafetaria, tapi saat melewati sebuah selasar, ia berhenti. Megan mendengar lebih tajam dan mengikuti suara itu. Itu suara dentingan piano.
Megan berhenti tepat di depan sebuah pintu, benar saja itu ruang musik. Ia membuka pelan hingga memastikan tak ada suara decitan.
Saat mengintip ke dalam tepat di sudut ruangan, dimana terdapat piano klasik, ia melihat sosok seorang pemuda duduk membelakangi. Ruangan itu didesain penuh dengan alat musik, tapi perhatiannya langsung tertuju pada pemuda itu, satu-satunya yang berada di ruangan.
Pemuda itu memainkan lagu Angel - Sarah McLachlan. Lagu yang ia suka. Diam-diam, tanpa sepengetahuan pemuda itu Megan berdiri di pintu mendengar tiap dentingan nada yang pas di telinga. Semakin lama ia mencuri dengar, semakin ia tersihir.
Megan mendengarkan pemuda itu bermain hingga dentingan piano terakhir yang membekukan dunianya. Pemuda itu berdiri, hampir saja Megan ketahuan mengintip.
Untungnya, pria itu malah berjalan ke arah jendela.
Entah mengapa, kaki Megan tak beranjak dari sana. Pemuda itu terdiam saja di sana, tak melakukan apa-apa selain menatap jendela di depan.
Saat pemuda itu menoleh ke samping lalu menunduk untuk memperbaiki sepatu, Megan melihat sosoknya.
Jantung Megan berdegub kencang.
Dunianya benar-benar membeku.
Dia Dave, pemuda yang menyelamatkannya dulu di danau.
Megan menutup mulutnya dengan tangan untuk menahan suara napasnya.
Pemuda itu kembali pada posisi awalnya, memandang jendela.
Tapi kali ini, Megan tidak lari. Ia membiarkan dirinya terpaku di tempat, memandang sosok pemuda itu lekat dari belakang.
Senyum tipis mengembang di sudut bibirnya lalu dengan pelan, ia meninggalkan pemuda itu dengan pikirannya sendiri.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.