36. The Letter
Seminggu sejak kejadian malam di pesta perayaan kemenangan pertama, Steph tidak pernah masuk kelas. Setiap kali Claire, Diana ataupun Megan yang menelepon, Steph tidak mengangkatnya.
"Apa kita mendobrak rumahnya saja hari ini?" saran Claire ketika mereka bertiga duduk di depan cafe memikirkan cara menghubungi Steph. "Atau lebih bagus jika menyelinap masuk dan mengangetkan dia saja?"
"Sudah seminggu dan kita belum mendengar kabar, mungkin Steph takut menghadapi semua yang bakal ia terima di sekolah," jelas Megan.
"Awas saja kalau ada yang membully Steph nanti," tegas Diana meremukkan botol minum yang sudah habis dan membuangnya di tempat sampah.
"Malam ini saja, bagaimana?" tawar Megan yang disetujui kedua yang lain. "Kita bertemu di perempatan jalan kompleks rumah Steph, oke!" Mereka bertiga serentak menjawab oke tanda setuju.
Malamnya setelah masing-masing telah berganti pakaian, mereka tiba di tempat yang dijanjikan. Tampak beberapa anak muda di ujung jalan memperhatikan ketiga gadis itu. Kalau bukan karena Diana membawa tongkat baseball, mereka mungkin sudah diganggu sedari tadi.
"Aku tahu kalian heran, tapi aku sudah mengenal tempat ini lebih lama dari kalian," tawa Diana renyah saat ia mengayunkan tongkat itu berputar. "Lingkungan ini tidak begitu aman, aku tahu Steph sudah terbiasa tapi saat pertama kali melihat kompleks perumahan ini, tak pikir panjang kupersiapkan tongkat sakti untuk kunjungan kedua. Jadi anak berandal itu tidak akan berani."
Kami berjalan beriringan hingga Diana menunjuk salah satu rumah yang berderet. Lampu depan rumah Steph tampak remang. Tidak ada pagar dan halaman berumput, rumah itu memiliki tangga lima undakan ke teras yang tidak terlalu luas dan pintu rumah warna biru langit yang tampak sudah luntur dimakan waktu.
Dengan ragu Megan mulai memberanikan diri untuk mengetuk. Tidak ada jawaban hingga ketiga kali, keempat kali Diana lalu menggedor pintu itu dengan keras. "Steph, aku tahu kau ada di dalam rumah. Buka pintunya, jangan mengabaikan kami." Ia melakukan itu tiga kali hingga Diana menghembuskan napas kecewa. "Tolong Steph, aku tahu kau di dalam, kami tidak ingin bertengkar denganmu saat ini. Kami khawatir. Tolong buka pintunya."
Mereka bertiga tidak mengetahui sebenarnya Steph sudah berada di balik pintu sejak Megan kedua kalinya mengetuk, ia hanya belum berani menerima kenyataan yang akan dikatakan mereka setelah membuka pintu itu.
Mereka bertiga sudah hampir menyerah dan hendak pulang saat knob pintu itu berputar dan terbuka memperlihatkan Steph yang terbalut selimut dengan mata sayu, ia tersenyum lemah sambil memperhatikan satu-satu dari tamu yang sebenarnya sudah diharapkan Steph untuk datang.
"Steph," ucap Claire yang matanya mulai basah. "Aku kira kau bertindak yang tidak-tidak, syukurlah." Claire langsung memeluk Steph erat dan mengelus punggungnya. "Kami kesepian di sekolah tanpamu."
Diana yang berhadapan dengan Steph, mengelus rambut gadis itu yang berantakan. "Kau tidak mandi berapa hari, hah?" Yang dibalas Steph dengan tawa kecil.
Ketiganya mulai memeluk Steph bersamaan dalam diam. Dan tiba-tiba Steph berkata, "Ayah Rena sudah tidak ada urusan lagi dengan kami. Aku sudah mengatakan sejujurnya kepada ibuku dan dia amat marah. Sejujurnya Ayah Rena memang dari awal sudah mendekatiku dan ibuku. Setiap kali Ayah Rena meneleponku, kupikir itu selalu menyangkut ibuku makanya aku selalu bersembunyi ketika menerima telepon darinya. Kalian tahu kan, aku tidak ada niat sama sekali melakukan yang Rena katakan. Aku takut kalian berpikiran yang sama setelah aku mengatakan yang sebenarnya tempo hari."
"Sudah jangan dibahas lagi. Kau tidak mungkin selamanya terkurung dalam rumah karena masalah ini. Besok datanglah ke sekolah, hmm?" tawar Diana. "Urusanmu dengan Ayah Rena sudah terselesaikan. Apapun yang nanti akan dikatakan orang-orang, jangan dimasukkan ke hatimu."

KAMU SEDANG MEMBACA
The Hidden Feelings (Semua Orang Punya Luka)
Historia Corta#TrueShortStory Some feelings are left unsaid. Megan dan Owen adalah sahabat sejak kecil. Saat hubungan mereka semakin akrab, Megan yakin menyukai Owen, secara diam-diam. Ia menyimpan rasa sukanya itu untuk waktu yang lama. Tapi sayang sekali, sahab...