#TrueShortStory
Some feelings are left unsaid.
Megan dan Owen adalah sahabat sejak kecil. Saat hubungan mereka semakin akrab, Megan yakin menyukai Owen, secara diam-diam. Ia menyimpan rasa sukanya itu untuk waktu yang lama.
Tapi sayang sekali, sahab...
"Kau merebut ayahku! Kau merebutnya dari ibuku. Kau berniat memisahkannya dari kami, 'kan!!!"
Rena berteriak marah, geram segeram-geramnya. Ia menarik kencang rambut Steph hingga gadis itu hanya bisa memegang tangan Rena agar terlepas dari cengkraman. Steph tahu akan ada bekas cakaran kuku di kulit kepalanya nanti. Sakit sekali.
"Lepaskan! Tolong lepaskan, Rena," rintih Steph di tengah teriakan orang yang menonton.
Melihat kejadian itu dari jauh, alam bawah sadar Megan menyuruhnya berlari mendekat untuk menolong. Ia melakukan secepat yang ia bisa.
Claire melihat Megan lari dan menyusulnya, tapi sebelum melakukan itu ia berbalik ke arah Diana lalu berteriak, "Dee, siapkan mobil, kupastikan kita bisa keluar dari sini hidup-hidup." Lalu Claire menghilang di tengah kerumunan.
Diana panik dan berkeringat. Belum sempat berkomentar, Claire sudah menghilang di kerumunan.
Sadar bahwa tas mereka masih di dalam, Diana bergegas mengambil semuanya di meja dan berlari menghampiri mobil mereka. Beberapa kali, Diana mengulang perkataan Rena tadi dan itu membuat emosinya memuncak. Benarkah Steph berbuat serendah itu?
Diana melaju kencang lalu menunggu di parkiran belakang yang disebut Claire, rasa paniknya bertambah saat tak ada satupun yang muncul. "Come on, girls. Keluarlah tanpa cacat sedikitpun."
Doa Diana terkabul. Tak lama menutup doanya, ia mendesah lega saat melihat Claire berlari lalu disusul Megan yang menuntun Steph di belakang.
"Dee, minggir!" teriak Claire yang membuka pintu kemudi, menyuruh Diana duduk di samping. "Biar aku yang menyetir," jelas Claire.
Tak lama, Megan dan Steph masuk di bagian belakang. Diana pindah dan segera setelah Claire masuk, ia melajukannya dengan kencang, meninggalkan kekacauan di belakang.
Di dalam mobil, keempatnya terdiam. Yang terdengar hanya suara mesin yang menderu, napas tergesa, lantunan CD player yang terabaikan dan ringisan kesakitan Steph di belakang.
"Kau tidak apa-apa?" bisik Megan khawatir. Steph hanya mengangguk kecil, menahan sakit di kepalanya.
Claire menoleh sebentar ke kaca, "Si gila Rena itu harus kita laporkan ke Kepala Sekolah. Ia menyerangmu tanpa alasan."
"Jangan, Claire, kumohon. Aku tak mau masalah ini berlarut-larut sampai melibatkan semua pihak," tolak Steph. Diana yang mendengar itu mengeratkan rahangnya, merasa kesal.
"Claire, tepikan mobilmu disini," seru Diana kencang. Sesaat Claire yang memegang kemudi tampak bingung melihat Diana di sampingnya tampak kesal dan kali ini Diana bersikeras. "Hentikan mobil, sekarang!"
Claire terpaksa menghentikan mobil. Diana keluar dari mobil, membuka pintu belakang dan menarik Steph keluar lalu menekan tubuh gadis itu ke pintu. "Jawab aku, Steph! Jawab aku. Apa benar yang Rena katakan tadi?"
Diana menekan bahu Steph. Matanya menuntut jawaban. "Jika memang ia berani menyerangmu malam ini, pasti ada alasannya, Steph. Rena bukan gadis pencari masalah."
Megan buru-buru keluar dari sisi pintu lain, menghampiri Diana. "Dee, tolong tenanglah. Steph ketakutan, jangan menambahkannya lagi."
Alis Steph menyatu, ia tak percaya akan mendengar itu dari mulut Diana. "Apa kau percaya padaku, Dee?" tanya Steph menatap Diana. "Karena meskipun aku menceritakan hal ini dari awal, jika kau tidak percaya padaku, aku rasa akan percuma."
"Tentu saja, bodoh!" teriak Diana. "Aku percaya padamu. Kau saja yang egois tidak pernah membagi persoalan apapun padaku," teriak Diana sekali lagi.
"Dee, tenanglah. Kau menakutinya," ucap Megan pada Diana yang napasnya mulai tak teratur.
Steph tertawa, tapi terdengar sedih di telinga siapapun. "Aku rasa, semua orang di kota ini sudah tahu apa yang terjadi pada keluargaku. Termasuk kau, Dee," jelas Steph, memulai.
"Aku tinggal sendiri dengan ibuku di rumah," jelasnya menghela napas. "Sayangnya, setelah bercerai, ibuku sering membuat onar dan berurusan dengan kantor polisi. Kurasa kau juga sudah tahu itu, Dee," ucap Steph menatap Diana. Diana yang mendengar itu lalu melepas tangannya dari tubuh Steph perlahan.
"Ada satu momen dimana ibuku tertangkap tangan memiliki narkoba di tasnya saat bekerja dan langsung ditahan." Steph berhenti sebentar untuk menenangkan diri. Ia sudah terlanjur membuka aib keluarganya.
"Ada yang menjebaknya, aku tahu itu. Tapi polisi tidak akan mempercayai apapun dari orang yang mempunyai narkoba. Beruntung ada teman baik ibuku di kepolisian yang berbaik hati ingin menolong. Ibuku dibebaskan tanpa syarat berkat jasa teman baiknya."
Diana menarik napas, "Jangan katakan polisi yang kau sebut itu ayahnya Rena?"
"Iya," jawab Steph tanpa ragu. "Setelah kejadian itu, ayah Rena beberapa kali mengungjungi ibuku di rumah. Awalnya aku yakin itu karena rasa simpati saja."
"Tapi bukan kau yang berhubungan dengan ayahnya Rena 'kan?" selidik Diana.
Steph mengangkat wajahnya, antara bimbang dan takut, "Aku harap seperti itu, tapi..." Megan menatap wajah Steph, ia bisa menangkap ada kelelahan dan rasa malu disana.
"Dee, sudahlah," pinta Megan.
"Lalu seringkali kudapati kau diam-diam memperhatikan ponselmu atau waktu-waktu tertentu saat ponselmu berbunyi kau akan menghindar dan memilih mengangkat teleponmu di tempat lain," tuduh Diana lagi.
Steph hanya terdiam, ia mengepalkan tangannya. Lebih baik Diana menumpahkan segalanya di hadapan wajahnya. Lalu air matanya merembes keluar.
"Dee, kumohon. Sudahlah," seru Megan melihat Steph menangis.
Claire yang melihat itu dari tempatnya berdiri lalu menyela, "Dee, kenapa kau harus membuat Steph mengungkapkan apa yang tidak mau diutarakannya. Jangan memaksanya. Ayolah kita pulang saja. Biar Steph menenangkan dirinya dulu."
Diana tahu ada yang tidak beres dengan sahabatnya ini. Ia marah bukan karena ingin menuduh tapi ia ingin membantu kalau saja ada sesuatu yang memberatkan hati Steph.
Hanya saja dengan memaksa Steph yang memang pendiam itu pun tidak akan membuatnya bercerita karena memang ia ingin menyembunyikannya.
"Sebenarnya Rena ada benarnya," ungkap Steph tiba-tiba. "Tapi percayalah, aku sangat ingin mengakhirinya."
Claire, Megan dan Diana tersentak mendengar itu. Steph menunduk, ia merasa malu dan tidak sanggup menopang tubuhnya lagi.
"Ayo, masuk. Kita pulang saja," pinta Megan lalu menatap Diana dengan tatapan memohon, meminta untuk menyudahi ini. Diana yang sudah mendengar jawaban pun akhirnya menurut.
Mereka berempat pulang dalam diam, tapi dalam hati masing-masing mereka membawa pertanyaan yang mengganjal. Entah apakah benar jika mereka membawa pulang perasaan seperti itu atau tidak, tapi mereka tidak bisa melukai Steph lebih dari itu. Biarkan Steph yang mengatakannya sendiri nanti.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.