delapan belas

11.2K 666 1
                                    

Note: di bawah ini drama banget. Percayalah!
N2: Vomment jan lupa juga.

..

Hari berganti hari, minggu berganti minggu. Tak terasa sudah 6 bulan Gwen dan Aileen bersama.

Dan selama 6 bulan itu pula hubungannya dengan Ani berubah canggung. Walaupun keduanya sudah melontarkan kata maaf, tapi masih ada sedikit kecanggungan seperti sekarang ini.

"Mau sampai kapan kalian diam-diaman huh? Biasa kalian yang paling kompak, kalian yang buat heboh kalau ngumpul?" geram Melfa.

Sekarang mereka berada di rumah makan dekat sekolah Gwen. Ini hari libur, biasanya mereka akan hang out bersama. Tapi sejak 6 bulan lalu, mereka jadi jarang keluar bersama. Untuk sekedar bertemu saja jarang.

Kalau Gwen dan teman-temannya masih sering, secara mereka adalah teman sekelas.

"Demi dewa! Kalian udah maaf-maafan, udah pelukan. Kenapa masih begini?" Lagi, Melfa menggeram.

Namun Ani dan Gwen tetap diam. Keduanya mengaduk piring berisi gado-gado yang sama sekali belum berkurang.

"Gue balik duluan ya? Udah dijemput Bapak." pamit Gwen.

Tanpa menunggu jawaban dari teman-temannya, ia keluar. Sebenarnya ia berbohong mengenai jemputan.

Bima sedang berada Bandung untuk memantau toko sampai 2 minggu ke depan. Ini adalah libur, tapi keluarganya tidak memiliki rencana untuk berlibur, semuanya sibuk sendiri.

Bapaknya sibuk dengan kerjaan, kedua kakaknya sibuk dengan tugas kuliah, sedang Mamanya sibuk mengurusi kebun yang baru dibuatnya di halaman belakang rumah.

Gwen melangkah menyusuri lorong sempit di samping sekolahnya. Biasanya ini adalah tempat anak-anak membolos.

Gwen mendengar suara sesuatu. Semakin maju melangkah, suara itu semakin jelas dan sepertinya berasal dari belakang tembok tempatnya bersandar sekarang.

Pemandangan di depannya mampu membuat Gwen terkejut. Tiga orang perempuan dengan seragam yang sama sedang memalak perempuan berambut panjang yang sudah kusut itu.

Gwen maju tanpa rasa takut. Seseorang menyadari keberadaannya, bisa Gwen lihat orang itu membuka mulutnya cukup lebar.

"Gwenita?" Gwen tidak menjawab, ia semakin mendekati empat orang itu.

"Ngapain lo disini?"

"Harusnya gue yang nanya. Lo ngapain di wilayah sekolah gue?" jawab Gwen santai.

"Kami ada urusan."

Tidak ada jawaban dari Gwen. Perempuan dengan celana maroon itu berjalan ke depan perempuan yang terduduk di tanah.

"Pergi sekarang!" teriak Gwen murka.
Tiga orang di depannya ini adalah mantan gangnya. Gang yang Gwen bentuk saat kelas 5 SD. Untunglah sejak kelas 7, ia sudah sadar dan keluar dari komplotan tukang bully itu.

"Kita belum selesai Gwen,"

"Dia sama gue. Jadi jangan pernah sentuh dia atau gue yang bakal turun tangan." Mereka terdiam.

"Kalian masih punya pilihan. Pergi atau mau gue sebar video laknat kalian bertiga hah?!" lanjut Gwen dengan nada tinggi.

Berhasil. Tiga orang tadi pergi meninggalkan dua orang yang saling berhadapan.

"Lo bego atau apa? Kenapa lo gak ngelawan? Bukannya selama ini lo jagoan?"

"Dingin,"

Melihat itu, Gwen tergerak melepas jaketnya lalu melempar ke arah perempuan yang menjadi musuh bebuyutannya sejak SMP. Vania.

"Jadi lo kenapa? Bisa-bisanya lo diem dipalakin kayak gitu. Semua nyali lo pergi kemana?" ulang Gwen. Ia tak habis pikir dengan Vania. Selama ini ia berlagak menjadi jagoan.

"Lo gak usah sok care."

Gwen mendelik. "Itu cara lo berterima kasih? Unik."

"Lo sama aja kayak mereka. Lo bagian dari mereka." cicit Vania sambil memeluk dirinya sendiri.

"Jangan bilang lo benci gue karena lo samain gue sama mereka?" selidik Gwen curiga.

"Iya! Kalian emang sama.  Sama-sama cewek brengsek!"

"Kayaknya lo salah paham. Sejak empat tahun lalu gue udah gak jadi bagian mereka."

"Cih!" Vania berdecih.

"Lo gak ingat pernah bully Ines sampai dia koma satu minggu? Lo sama aja!" lanjut Vania emosi.

Gwen terdiam. Yang dikatakan Vania memang benar, tapi itu hanya masa lalu. Sungguh, Gwen sangat menyesali dirinya yang begitu kejam di masa lalu. Untungnya Tuhan memberinya hidayah.

"Gue inget, gue inget semuanya. Bahkan sekarang gue inget, gue pernah bully lo waktu SD, iyakan?"

"Syukur kalau lo inget."

"Jadi mulai dari sekarang gue mau minta maaf sama lo. Entah lo mau maafin gue atau enggak itu urusan lo. Tapi mulai sekarang jangan samain gue sama mereka lagi,"

"Satu lagi! Kalau mereka datang gangguin lo atau temen-temen lo lagi, lapor ke gue." lanjut Gwen.

"Minggir lo! Gue mau pulang."

Gwen tersenyum sinis lalu memberi jalan untuk Vania keluar. Hatinya sedikit lega. Walaupun Vania tidak mengatakan langsung kalau ia menerima maaf darinya, tapi tidak ada penolakan dari Vania.

..

Gwen menatap pria di balik kemudi yang sedang fokus menatap jalanan. Bibir Gwen membentuk sebuah lengkungan saat pria itu menggeram karena macet.

"Kenapa senyum-senyum sendiri? Kayak orgil."

"Gak kenapa-kenapa. Itu hape kamu getar." kata Gwen menunjuk ponsel Aileen yang bergetar di dashboard.

"Siapa? Coba liat."

Lantas Gwen meraih ponsel milik kekasihnya itu, "Key. Siapa sih Key? Perasaan sering banget nelpon kamu. Aku angkat ya?"

"Enggak usah! Matikan aja. Temen basket aku di Bandung, paling gak penting." jawab Aileen cepat.

Melihat itu, Gwen tersenyum kecut. Ia tidak bodoh untuk tidak curiga. Dengan berani, Gwen menggeser warna hijau di layar ponsel Aileen.

"Halo?"

"Hallo ini siapa? Nandonya ada?" jawab seorang dari seberang sana. Siapa saja tahu kalau itu suara perempuan.

"Ini Gwenita. Ada nih Nandonya, lagi nyet.."

Perkataan Gwen terpotong saat Aileen merebut paksa ponsel dari tangannya dan langsung mematikan sambungan.

"Kenapa kamu angkat? Aku kan udah bilang jangan. Batu banget sih."

"Kenapa sih kayak ada yang kamu sembunyiin dari aku?" ucap Gwen pelan.

"Maksud kamu apa? Kamu raguin aku sekarang? Udah bosen?"

"Aku gak pernah bilang begitu. Kalau kamu yang bosen bilang! Beberapa minggu ini kamu berubah," pekik Gwen menahan emosinya.

"Berubah apa? Aku gak ada berubah. Gak usah banyak alasan kamu,"

"Kamu bilang apa? Aku banyak alasan? Kamu sadar gak? Yang banyak alasan itu kamu. KAMU!"

Sudah. Gwen sudah tidak tahan sekarang. Air matanya sudah meluncur membahasi pipinya.

"Kamu kenapa nangis? Jangan nangis. Maafin aku, aku kebawa emosi."

"Cukup! Buka pintunya, aku naik taksi aja."

..

Huaa! Ini satu masalah baru mau selesai malah muncul masa lain.

KEY?! Who r u?! Jangan ganggu hubungan mereka. Aku aja udah mengalah. (Author mulai gila)

Yaudah ya? Dadah.

Playboy's Effect ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang