#4 : Axton Martinez

3.2K 299 2
                                    

P E R I N G A T A N

CERITA INI MENGANDUNG UNSUR-UNSUR LGBT (GAY)

YANG MEMBENCI UNSUR TERSEBUT

MOHON MENINGGALKAN CERITA INI SESEGERA MUNGKIN

DITAKUTKAN ANDA AKAN MEMAKI CERITA INI DIAKHIR.

SEKIAN DAN TERIMA KASIH

SELAMAT MEMBACA.

.

.

.

"Bagaimana pekerjaanmu dibar?" Cliff secara tiba-tiba langsung merangkul hingga Axton menjerti kaget. Cacian dan makian dilontarkannya, sedangkan Cliff hanya terkekeh dan meminta maaf berkali-kali. "Lancar-lancar saja."

Cliff masih merasa penasaran dengan apa saja yang dikerjakan sobatnya selama bekerja disana. Ia terus mencecar Axton dengan banyak pertanyaan, hingga kaki mereka sudah membawanya kekantin kampus yang ramai karena ini jam makan siang. "Diamlah, atau aku masukan acar kedalam mulutmu." Ia sontak menututup mulutnya, Axton tertawa melihat tingkah lucu sobatnya yang begitu bencinya dengan acar.

"Cliff, apa kau mengetahui maksud kode regular dan deluxe? Aku sungguh penasaran. Setiap orang yang mengatakan deluxe akan selalu diantar kelantai atas, sedangkan regular akan diantar kebar counter." ucap Axton sambil mencari tempat duduk yang kosong. Mereka menemukan satu tempat duduk yang bisa terbilang jauh diujung kantin.

Sobatnya hanya mengangkat bahu, menandakan dirinya tak tahu menahu mengenai kode tersebut. "Kenapa tidak tanya dengan bos?" Cliff bersuara sembari meminum minumannya. Lelaki yang dihadapannya hanya bisa menghela nafas panjang, "Boss akan memberitahukan bila aku sudah bekerja selama 3bulan. Dan ini baru memasuki minggu ke3."

Cliff tertawa terbahak-bahak, "Sabar adalah jawaban untuk pertanyaanmu."

Axton langsung cemberut, mendengarkan jawaban dari teman dekatnya tersebut. Sungguh menyebalkan. Mereka langsung menyantap makan siangnya, sebelum jam matakuliah berikutnya dimulai.

"Langsung kerja?" tanya Cliff saat ia tengah membereskan buku-bukunya kedalam tas ranselnya. "Iya langsung kerja. Kalau mau ngobrol dicafe Boss, sebelum aku kerja." Cliff hanya mengangguk dan melambaikan tangannya tanda perpisahan.

Hanya kurang lebih lima belas menit, Axton sudah tiba dicafe tempat ia bekerja part time sebagai pelayan café tersebut. Ia langsung mengganti pakaiannya dengan kemeja kerjanya lengkap dengan atributnya. Axton sudah berdiri dibelakang meja kasir, menggantikan rekan kerjanya yang shiftnya telah usai. Hari ini cukup melelahkan, rata-rata pelanggan yang dilayaninya rewel dalam hal memilih menu yang hendak dipesannya.

"Axton tolong antarkan kopi ini kemeja ujung." teriak rekan kerja lainnya yang berada dibagian barista.

"Bagian mana?" tanya Axton sembari mengambil nampan yang sudah disiapkan disamping meja kasir. Selain menjadi penjaga kasir, hari ini Axton merangkap menjadi pelayan pula. Beberapa karyawan part time café ini ijin mengambil cuti beberapa hari dengan berbagai alasan yang berbeda-beda, namun kebanyakan alasan tengah mengadapi ujian kelulusan.

Pria barista tersebut menunjuk sebuah meja yang berisikan empat pria berjas, sepertinya tengah melakukan meeting diujung sana. Segera ia mengambil nampan itu dan membawanya dengan hati-hati. Tanpa diduga, ada anak lelaki menabrak dirinya, sialnya ia hilang keseimbangan dan tanpa diduga kedua cangkir tersebut keluar dari nampan, mengenai pakaian seorang pria yang hendak menerima panggilan telepon.

"Dimana matamu bocah?"

Axton hanya terdiam, ia spontan masih memeluk anak lelaki itu. Anak itu shock, shock dengan suara cangkir yang menghantam lantai café itu. "Hei bocah. Kau tidak diajarkan sopan santun dengan kedua orang tuamu?" Ia tidak menjawab, justru menenangkan anak lelaki sekaligus menyerahkan pada orang tuanya.

"Bocah sialan, kau bisu?" Pria itu menarik krah baju Axton, hendak menamparnya karena jengah sejak tadi merasa diabaikan olehnya. Axton hanya memejamkan matanya, ia sangat takut, takut sekali apabila berhubungan dengan kekerasan seperti ini. Setiap kekerasan yang diterimanya selalu mengingatkan pada mendiang ayahnya. Sosok itu selalu melakukan kekerasan tidak pada dirinya saja, melainkan pada ibunya hingga beliau meninggal. Itulah yang membuat dirinya sangat membenci yang namanya bullying dan kekerasan fisik. Ia hanya berharap waktu berhenti sehingga dirinya bisa melarikan diri dari pria itu.

"Memukul adalah hobbymu, huh? Sungguh disayangkan kau baru saja memperoleh predikat orang tersukses setahun ini, namun sikapmu sudah seperti ini?"

Axton perlahan membuat matanya, suara itu. Suara itu membuatnya hatinya tenang, seperti terlindungi oleh tameng baja. Perlahan ia membuka matanya, pandangannya tertuju pada dua pria berjas—tidak keduanya melainkan hanya pria yang sejak tadi menahan tangan pria lainnya yang hendak menamparnya. Ia mengenalnya dibar. Ya, pria itu adalah pria yang berbicara dengan Boss, dibar. Pria itu Joel, batinnya.

"Kubatalkan kontrak kerjaku denganmu. Aku jijik bekerjasama dengan orang yang suka melakukan kekerasan sepertimu." Joel menoleh kearah seketarisnya, memanggilnya sekaligus membawakan map berwarna coklat. Pria itu tanpa basa-basi langsung menyobek map itu secara kasar didepan rekan kerjanya dan membuangnya kesegala arah. Joel menatatap miris rekan kerjanya, "Senang berkejasama dengan anda."

Axton tercengang ketika Joel menariknya, "Sara, shift bocah ini sudah selesai?" Gadis barista yang menyandang jabatan manager café itu menengok kearah alorginya, lalu mengangguk cepat. Joel tersenyum sekilas, langsung menarik lengan Axton kearah mobil dan menyuruhnya segera masuk. Tanpa banyak bertanya, Axton memilih diam dan masuk kedalam mobil pria itu.

***

You're My ShadowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang