#18 : Axton Martinez

1.3K 116 1
                                    

P E R I N G A T A N

CERITA INI MENGANDUNG UNSUR-UNSUR LGBT (GAY)

YANG MEMBENCI UNSUR TERSEBUT

MOHON MENINGGALKAN CERITA INI SESEGERA MUNGKIN

DITAKUTKAN ANDA AKAN MEMAKI CERITA INI DIAKHIR.

SEKIAN DAN TERIMA KASIH

SELAMAT MEMBACA.

.

.

.

"Deluxe or Regular."

Dua kata itu kembali didengar Axton ketika suara khas Jeffry kembali memukai pelanggan tersebut. Axton masih menatatap pelanggan itu, sepertinya ia mengenalinya. "Ferdinand?" ucapnya lirih.

"Regular." Ferdinand tersenyum dan Jeffry mempersilahkannya untuk memilih tempat yang disukainya. Lelaki itu mengambil posisi duduk diujung ruangan, "Vodka." lanjutnya dan Jeffry mengangguk.

Pandangan Axton masih menatatap gerak-gerik Ferdinand. Banyak pertanyaan yang muncul dibenaknya, setelah kedatangan Ferdinand secara kebetulan ini. Bagaimana ia tahu kalau aku bekerja disini? Apa ia menguntitku? Apa ia masih akan melakukan 'hal' itu lagi? Ya, Axton masih was-was dengan keberadaan Ferdinand, apalagi saat ini tidak ada Joel disisinya. Eits, kenapa tiba-tiba ia memikirkan keadaan lelaki itu? Lelaki yang tengah berbaring lemah tak berdaya diatas ranjang rumah sakit.

"Axton, mau sampai kapan mengelap mejanya?" Sang boss menepuk pundaknya, seketika lamunannya buyar. Hanya senyuman yang diberikan Axton sebagai jawabannya. "Antarkan minuman ini pada pelanggan yang duduk dipojok. Yang berpakian kemeja putih rompi biru tua." Mendengar permintaan sang boss, mendadak jantung Axton berhenti.

Kemeja putih dengan rompi biru tua? Axton terkejut, pakaian yang disebutkan bossnya adalah pakaian yang Ferdinand kenakan saat ini. Bulir-bulir keringat mulai bercucuran. Takut? Bukan 'takut' lagi melainkan 'sangat' takut.

Semoga baik-baik saja, batin Axton. Ia mulai mengambil minuman yang dipesannya diatas bar counter dan membawanya menggunakan nampan menuju kemeja dimana Ferdinand tengah berbincang dengan para jalang.

"Vodka." Axton berusaha senetral mungkin, menututupi rasa takutnya, rasa gemetarannya dihadapan lelaki itu.

Ferdinand tersenyum, menerima minumannya dan mengucapkan 'terima kasih' pada Axton. Entah permainan apa yang sedang dimainkan oleh Ferdinand, untuk kali ini lelaki itu berbicara seolah-olah tidak mengenalnya. Axton membungkukkan badannya, kemudian meninggalkan meja tersebut untuk melanjutkan pekerjaanya.

Setengah jam menjelang shift part time Axton selesai, tiba-tiba sang boss mencegahnya pulang dan memberikan pekerjaan tambahan yaitu membersihkan kamar-kamar yang berada dilantai dua club ini. "Maaf ya, yang lainnya sedang sibuk dengan pekerjaan masing-masing."

Axton mengangguk, ia mengambil peralatan kebersihannya dan langkah kakinya perlahan membawanya menuju kelantai dua. Sebelum melangkah kelantai dua, Axton kembali mengingat pesan sang boss tadi.

"Sepertinya saya harus memberitahukan sekarang, meskipun waktu kerjamu belum genap tiga bulan. Lantai dua club ini merupakan service, saya harap kamu jaga diri saat melewati mereka semua dan jangan pernah menoleh apabila dipanggil. Siapapun, kecuali big boss club ini."

Anak tangga demi anak tangga dilaluinya dengan perlahan. Tibanya dilantai dua, Axton mempercepat langkah kakinya, sebelum para hidung belang melihat dan menyantap dirinya hidup-hidup. Kini kedua kakinya sudah berdiri dilorong dengan banyak pintu yang berjajar disana. Satu persatu kamar dibersihkan, banyak hal yang tak terduga oleh Axton. Disetiap kamar memiliki masing-masing perbedaan, dari segi penataan perabotan, wallpaper dinding, hingga barang-barang apa saja yang hendak digunakan untuk memuaskan hasrat mereka.

Axton menghela nafas ketika ia keluar dari tempat tidur kesekiannya. Pandangannya tertuju pada pintu yang berada dihadapannya. Kamar terakhir, setelah itu kerumah sakit. Dengan semangat, lelaki itu langsung memegang handel pintu, lelaki itu menghirup wangi semerbak kamar tersebut.

"Bau apa ini?"

Efek bau-bau wewangian itu menjalar dengan cepat, tubuh Axton menjadi lemas dan perlahan pandangannya memburam dan hitam pada akhirnya. Hanya ada satu bayangan yang dilihatnya sebelum pandangannya menghitam sepenuhnya.

Bayangan itu adalah Ferdinand Eleizer yang berdiri dihadapannya dengan membawa beberapa utas tali. "Let's recall our memories."

***

a/n: untuk chapter berikutnya diprivate karena mengandung unsur sex dan dapat dibaca oleh followers saja, tidak membaca part berikutnya tidak akan menganggu jalan ceritanya. Terima kasih. 

You're My ShadowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang