Hi there! :) *Waves
"Menjadi jujur sepenuhnya dengan diri sendiri adalah latihan yang bagus."
―Sigmund Freud***
Lyra duduk diam di kasurnya, kematian sang kakak ternyata menyebabkan luka yang sangat dalam di hatinya. Sang kakak merupakan saudara satu-satunya, ia mengelus topi milik Leon. Saudara kembar laki-lakinya. Mereka adalah kembar identik, sang kakak meninggal dalam kecelakaan mobil minggu lalu.
Kini Lyra sedang dilanda duka yang berat, usianya yang belum genap tujuh belas tahun sudah ditelan oleh duka, kehilangan, dan kemiskinan.
Ya... Lyra bukanlah anak orang kaya, sang ibu bekerja di Manhattan sebagai tukang cuci, dengan gaji yang kecil, dan Lyra yang masih duduk di bangku sekolah, harus bekerja paruh waktu, sebagai penjaga toko es krim, di Midtown, Manhattan. Mereka tinggal di sebuah apartemen kecil, pinggiran kota New York. Sang ayah meninggalkan ibu Lyra dan Leon, saat mereka berusia delapan tahun, dan mungkin, lelaki itu sudah menikahi wanita lain.
Ia sudah bolos sekolah selama seminggu, Lyra hanya mendekam di kamarnya, bolak-balik duduk di atas kasur, memandang jendela, memeluk foto kakaknya, ulangi. Itulah rutinitas Lyra sejak kematian kakaknya. Ia merasa seolah ialah yang mati.
Ibunya, Annie, memantau kondisi Lyra, ia bolak-balik ke kamar, membawakan makanan, dan sebagainya. Annie tidak tau cara menghibur Lyra, Annie tidak mengerti. Bukan berarti ia tidak pernah bercengkrama dengan sang anak, namun karena Lyra, bukanlah gadis yang mudah ditebak.
Isi pikirannya rumit.
Ponsel Lyra berdering, menandakan panggilan video dari sahabatnya, Miles. Lyra bertaruh, pasti Abigail juga sedang di rumah Miles, mereka berdua berusaha menghubungi Lyra sejak minggu lalu. Mereka bahkan sudah mengunjungi gadis itu, namun Lyra mengunci pintu, dan merenung.
Lyra menatap foto Leon dan dirinya yang sedang tersenyum, Leon merangkul pundak Lyra, begitupula Lyra. Mereka memiliki wajah yang kelewat mirip. Wajah mereka sama. Hanya saja, Leon laki-laki, dan Lyra perempuan. Perbedaan hanya berada di tulang wajah mungkin. Tulang wajah perempuan, dan tulang wajah laki-laki.
Annie mengetuk pintu kamar Lyra.
"Masuklah," ucap Lyra lemas.
Annie membawa makan siang, kemudian meletakannya di atas meja. Makanan yang dibawakan tadi pagi hampir tidak tersentuh. Lyra tidak makan.
Annie melihat keadaan anaknya yang semakin kurus setiap harinya, gadis itu hanya memakan selembar roti sehari, dan dua gelas air putih.
"Kamu akan sakit kalau tidak makan, Lyra." Ucap Annie sembari duduk di tepi tempat tidur. "Makanlah."
Lyra mengangguk, "Nanti." Ucapnya.
Annie menghela napas, menatap anak gadisnya itu, dan menuju ke pintu keluar, "Kamu tau, bukan kamu saja yang bersedih akan kematiannya. Terlebih, aku selalu teringat akan dirinya setiap melihatmu." Wanita tua itu tersenyum, kemudian menutup pintu di belakangnya.
Lyra masih memandangi pintu, sekalipun sang ibu mungkin sudah berada di dapur lagi.
Ia menatap kosong ke lututnya, ia beranjak dari tempat tidurnya, mencoba untuk makan. Ia menyuap sesendok wortel, kentang rebus, dan suiran ayam. Ia hanya sanggup memakan beberapa suap, tapi setidaknya ia makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Death's Syndrom : DEATH'S MARK
Fantasy[HIGHEST RANK : #4 in FANTASY] SINOPSIS Lyra Meyer, gadis berusia enam belas tahun, yang sedang dilanda duka. Duka yang sangat mendalam, karena kematian saudara kembar laki-lakinya, Leon. Lyra menjadi murung, bahkan sahabatnya, Abigail dan Miles, me...