-Bab 23-

445 53 8
                                    

"...ra, lyra..., LYRA!"
Lyra terbangun, matanya menelaah sekitar, gelap. Hanya satu kesimpulan yang didapatnya : Lyra mati.

Lyra menangis, memanggil siapapun yang mungkin bisa mendengarnya. Dan bodohnya, Lyra masih bisa memanggil nama "Luke."

"Lyra." Sebuah suara samar di tengah kegelapan memicu Lyra untuk menoleh. Ia mengenal baik suara itu, orang yang sangat dirindukannya.

"Leon!?" Lyra berusaha mencari wajah orang itu. "Leon??"

"Aku disini, Lyra." Lyra menoleh ke belakang, air mata menetes, membasahi pipinya. Sontak, ia memeluk Leon. Leon membalas pelukannya.

"Hai Lyra." Ucap suara wanita dari belakangnya.

"Ibu?" Lyra menangis bahagia memeluk ibunya. Tubuhnya bercahaya, bagai melihat bidadari di nirwana.

"Nak." Kini suara yang sudah tidak asing di telinga Lyra muncul.

"Ayah..." Ia langsung menangis sembari tertawa, berlari menghampiri ayahnya. Memeluk pria itu, menghirup aromanya. Aroma musim gugur. "Aku rindu kalian." Lyra berucap.

"Kami juga." Leon menjawab, "Kamu sangat tangguh, sis." Ia tertawa.

Mereka bertiga berpelukan, menyatukan menjadi setitik cahaya di tengah kegelapan.

Lyra masih menangis, namun tangisnya itu tangis bahagia.

"Ayah apa aku sudah mati?" Lyra bertanya, menengadahkan kepalanya menghadap Daniel, bagaikan balita yang memohon untuk sebuah permen.

Daniel menggeleng, "Kamu belum mati." Ia tersenyum. "Tapi kamu sekarat." Imbuhnya.

"Aku sudah curiga sejak awal kamu menaruh perasaan pada lelaki itu." Campur Leon.

"Bagaimana ia bisa tau?" Lyra bertanya pada ayah dan ibunya.

"Leon-- dia adalah pemilik sebenarnya sindrom itu. Sejak ia meninggal, sindrom itu sudah musnah, namun sejak kamu bertemu dengan Luke, entah bagaimana Leon menggapaimu. Dia menyerahkan seluruh kemampuannya kepadamu, sebagai peringatan akan kematian dan perkara terburuk yang mungkin terjadi." Jelas Daniel.

Lyra menatap Leon, Leon mengedipkan sebelah matanya. Lyra membalasnya dengan senyuman.

Ia masih tidak menyangka, bisa dipersatukan dengan keluarganya walau harus dalam keadaan seperti ini. Ia sudah lupa rasanya memiliki keluarga.

"Kita tidak bisa buang-buang waktu." Daniel menyela, "Kamu harus kembali, Lyra."

Lyra tercengang. Kemudian ia menyadari, tubuhnya tidak bercahaya seperti Leon dan Ibunya. "Mengapa tubuhku tidak bercahaya?" Dengan polosnya ia bertanya.

"Karena kamu masih hidup, bodoh." Leon menyahut.

Lyra menoleh memberikan tatapan jengkel, namun dilanjut dengan tawa. Gadis itu senang bisa bercanda dengan saudaranya lagi, walau hanya sesaat.

Kemudian Lyra menyadari, tubuh ayahnya juga tidak bercahaya. "Ayah-- apa ayah... Masih hidup juga?"

Daniel tersenyum, kemudian menutup mata Lyra dengan tangan kanannya, sementara Leon dan ibunya menyentuh pundak sisi kanan dan kiri Lyra. "Kamu harus kembali. Kalahkan mereka, nasib Reaper's Angels ada di tanganmu." Suara Daniel menggema di ruang kosong itu.

"Kami selalu di belakangmu." Ucap Leon.

Kotak ke sepuluh dari kiri, unit ke 27. Kunci emas di langit-langit.

Seketika, bagai ledakan, cahaya putih memenuhi pandangan Lyra. Terlalu silau, ia tidak dapat melihat apapun.

***

Matanya yang sebelumnya terpejam, kini terbuka. Memberi kejutan ke Thomas yang berada di sisinya. "Lyra!" Thomas berseru. Lyra memandang sekitar. Kehancuran.

"Aku harus ke perpustakaan." Ucap Lyra. Ia tergesa-gesa.

"Apa!?" Thomas bingung.

"Kotak ke sepuluh, unit ke 27, kunci emas langit-langit. Itu perpustakaan!" Jelas Lyra. "Ayahku meninggalkan sesuatu disana!"

Thomas mengangguk. Ia yakin, apapun yang ditinggalkan Daniel List pasti penting. Lyra bangkit, berjalan tertatih-tatih, melewati bangunan. Luka di pipi dan kakinya, tangannya yang tertusuk belati, kini berlumur darah kental yang sudah mulai menghitam. Thomas membantu Lyra berjalan.

Lorong begitu sunyi, bagai kota mati. Bahkan terkesan terlalu sunyi. Thomas mulai was was.

Tiba-tiba, pintu di sebelah kanan Lyra meledak, menimpakan puing-puing kayu ke arah mereka. Thomas berusaha sebisa mungkin melindungi Lyra.

Dan muncullah. Sosok yang sangat dibenci, sekaligus dicintai oleh Lyra.

"Luke."

Sosok itu tersenyum, Thomas sudah bersiap melawan, tubuhnya menghalangi tubuh Lyra.

"Menyingkir dari kekasihku, Tommy." Dengan gerakan satu jari, Thomas terhempas ke dinding.

"Kamu berutang padaku." Ucap Luke.

Lyra hanya menatap tajam Lucas yang berdiri di hadapannya.

"Kamu harus menciumku." []

Death's Syndrom : DEATH'S MARKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang