BAB 7
Bower menatap Lyra, matanya menerawang, seolah bisa membaca dan merasakan firasat buruknya. "Apa maksudmu?" sudah dua kali Bower mengatakan hal itu dalam menit ini.
"Aku merasa—" Ucapan Lyra dipotong oleh suara pintu dibanting. Aimee berjalan memasuki ruangan dengan ekspresi marah, tergesa-gesa, dan sejumlah emosi lainnya yang tidak ia mengerti.
"Apa yang kamu perbuat, Bower?" Ucap Aimee, berjalan mengarah tepat ke arah Bower. "Apa yang sudah kamu perbuat!?" Suaranya tidak tinggi, tapi terdengar nada mengejutkan, sekaligus kemarahan.
"Aku tidak mengerti." Ucap Bower dengan polosnya.
Aimee menghela tawa. Sebuah tawa melecehkan, sebuat tawa licik, sebuah tawa pengkhianatan. "Aku tau kamu akan bilang begitu." Ucap Aimee, "Apa yang sudah kamu perbuat terhadap kedua orang tuaku?"
Bower terdiam, "Mereka sudah meninggal, lama sekali, sebelum usiamu setahun." Jawab Bower singkat.
"Awalnya aku percaya itu." Jawab Aimee. "Sampai aku mendengar semuanya dari Cermin Dewa."
Mata Bower membelalak, ia bertanya, "Kamu ke bangsal terlarang?" tanya Bower, kedua tangannya berada di sisi bahu Aimee. "Sudah ratusan kali kuperingatkan kamu untuk tidak kesitu!"
Aimee menyentakkan bahunya, kemudian menampar Bower. Bower tidak menantikan tamparan itu, hingga ia tidak bisa menahan momentum pukulannya. Tangannya menyenggol gelas yang berada di atas meja hingga pecah. "Kamu membunuh ayahanda dan ibunda ku." Ucap Aimee. "Kamu membunuh mereka! Oleh sebab itulah, kamu menyembunyikan Cermin Dewa dariku 'kan!?" Suaranya meninggi.
Bower masih memegangi pipinya yang merah akibat tamparan, "Aku tidak menyembunyikan Cermin Dewa darimu. Sudah berapa kali kamu menerobos masuk ke bangsal terlarang, tapi kamu tidak pernah mendapat cerita dari Cermin Dewa, bukan begitu? Aimee Alexander?" Bower mengucapkan nama terakhir Aimee yang bahkan belum pernah di dengar oleh Lyra. Ia mengucapkannya dengan intonasi yang lain, penuh penekanan, dan kemarahan.
Aimee lantas berteriak, "Jangan sebut aku dengan nama hina-mu!" Air mata mengalir ke pipinya. "Aku bukan siapa-siapamu!"
"Kamu ditipu. Cermin Dewa tidak selalu benar." Sangkal Bower. "Kamu terlalu banyak melihat."
"Aku baru pertama kali melihat Cermin Dewa." Balas Aimee. "Sebelum ini aku tidak pernah melihatnya."
Kini, Bower kembali terdiam.
"Aku akan pergi dari sini." Ucap Aimee.
"Aimee, jangan." Pinta Bower.
"Aku lebih baik mati di tangan Slavic, daripada harus berada disini bersamamu dan buku-buku konyolmu." Ucapannya menikam tepat ke hati. Bower sudah tidak bisa menyangkalnya.
Lyra menghalangi pintu keluar, "Aimee." Ucapnya.
"Lyra." Balas Aimee, "Menyingkir."
Lyra tidak bergeming. Ia menetap di hadapan Aimee, merentangkan kedua tangannya seolah-olah hal itu dapat menghentikan Aimee.
"Keras kepala." Aimee kemudian menembakkan peluru kertas ke lengan Lyra, menyayat lengan gadis itu, dan menampilkan darah segar. Refleks, Lyra menyentuh lukanya. Terasa perih karena banyaknya serpihan kertas yang menempel di situ. "Maafkan aku." Ucap Aimee, kemudian berlalu pergi.
Lyra masih memegangi lengannya yang terluka, namun ia tidak bisa menghentikan Aimee dari kepergiannya.
"Sia-sia saja." Ucap Bower.
KAMU SEDANG MEMBACA
Death's Syndrom : DEATH'S MARK
Fantasy[HIGHEST RANK : #4 in FANTASY] SINOPSIS Lyra Meyer, gadis berusia enam belas tahun, yang sedang dilanda duka. Duka yang sangat mendalam, karena kematian saudara kembar laki-lakinya, Leon. Lyra menjadi murung, bahkan sahabatnya, Abigail dan Miles, me...