Aku gagal membunuh satu kawanmu. Maaf. Sampai jumpa tujuh belas hari lagi. Kata-kata itu terdengar seperti ucapan maaf, tapi bagi Lyra itu merupakan pertanda akan sesuatu yang lebih buruk lagi.
Kalau Slavic gagal membunuh Carina, akankah ada kemungkinan dia membunuh mereka semua sekaligus? Atau secara brutal?
Lyra hanya melamun di kamarnya, bahkan ia sampai tidak mendengar suara ketukan di pintunya.
DOK DOK DOK! Suara gedoran di pintu, membangunkan Lyra dari lamunannya. Ia beranjak dari ranjangnya, dan bergegas menuju pintu, sebelum orang yang di luar mendobraknya.
"Lyra, buka pintunya!" Teriak beberapa suara. Bukan hanya satu orang.
Lyra membuka pintunya, namun tidak ada siapapun di depan pintu.
Halusinasi.
Apakah Lyra akan mati ditelan halusinasinya? Ataukah dia akan bunuh diri karena halusinasinya? Ia belum siap.
Ia kembali menutup pintu, kemudian naik ke tempat tidurnya, menyelinap di antara selimut dengan kasur keras, yang baginya saat ini merupakan kasur paling empuk di dunia. Ia memejamkan mata, berusaha tidur.
Saat ia membuka mata, semuanya berubah gelap. Hanya ada cahaya remang dari lilin di sisi tempat tidur. Serbuk-serbuk jatuh di lantai sampingnya, lilin itu menggelinding, anehnya, tidak meninggalkan tetes-tetes sedikitpun. Lilin itu jatuh di atas serbuk yang jatuh, kemudian api raksasa mulai merambat ke dinding, ruangan itu terbakar, Lyra terjebak di dalamnya.
Tak lama, ia melihat bayangan Bower, Aimee, ibunya, dan—Leon.
Saat itu, ia melihat mata Leon marah, membakar.
Lyra berusaha berteriak, namun suaranya tidak keluar. Ia meyakinkan dirinya bahwa ini adalah mimpi, tapi semuanya terasa nyata. Sangat nyata.
Suara pecahan kaca. Seseorang menerobos, aneh sekali bisa tahan dari api sebesar itu.
Tak lama, ia melihat Carina, Art, Clyde, dan semua orang di bangunan itu, menerobos masuk melalui pintu kayu, mereka berusaha menyelamatkan Lyra, namun seseorang melempari mereka Bubuk Pyro, membuat mereka mati terbakar.
Masih ada satu orang yang belum datang menyelamatkannya. Lucas belum datang, hal itu masih melegakan hati Lyra, walau tidak bisa menutupi kekosongan dalam dirinya. Lyra berusaha menyelamatkan diri dari kobaran api, namun api sudah terlalu besar, ditambah, Bubuk Pyro yang menyebar disana-sini. Lyra kemudian menoleh ke bawah, melihat api sudah meratapi kakinya, bunyi kemeretuk, sakitnya luar biasa, ia yakin, kalau ia selamat, bekas lukanya akan sangat sulit disembunyikan dari Miles dan Abigail.
Pemikiran itu memanggilkan kedua sahabatnya. Kini, ia menyaksikan Miles dan Abigail masuk, berusaha menyelamatkan Lyra, namun bubuk sialan itu kembali bertebaran di sekeliling tubuh mereka, api melalap mereka dengan mudah bagaikan kertas.
Lyra merasakan pedihnya api bercampur pedihnya kehilangan. Ia menjerit, kali ini, suaranya keluar. Suaranya kencang, sangat kencang. Pertama kalinya, ia mengeluarkan teriakan sekencang itu. Kemudian lantainya—
"LYRA!" Seseorang menampar pipi Lyra, membuat gadis itu tersentak.
Pandangannya mulai jelas, ruangan coklat kehitaman, utuh. Tidak ada bekas terbakar, atau jelaga sedikitpun. Bahkan tidak tampak butiran putih bubuk pyro. Rebecca berada di hadapannya, rambut oranye-panjangnya menjuntai, menyapu pipi Lyra.
Lyra bangun, ia langsung memeluk Rebecca. Ia menyadari, semua orang kini berkumpul di kamarnya. Bahkan gerombolan laki-laki juga. Mereka memandangi Lyra dengan cemas.
"Aku melihat kalian semua terbakar, dalam mimpiku. Bukan hanya kalian, Miles dan Abigail, Ibu, Leon. Semuanya." Lyra menjelaskan di sela isakan. Ia tidak bisa menahan air matanya. "Seolah itu semua kesalahanku."
Carina duduk di samping Lyra, merangkulkan lengannya ke bahu Lyra. Membuat Lyra tenang. "Itu cuma mimpi." Hibur Carina.
"Tapi terasa sangat nyata." Jawab Lyra.
"Itu bukan sindrom mengerikanmu 'kan?" Art yang bertanya. Setelah berminggu-minggu dilanda diam, laki-laki itu akhirnya mengeluarkan suaranya.
Lyra menjengit mendengar kata 'sindrom' tapi ia berusaha tenang, "Aku harap bukan." Jawab Lyra. Walau ia yakin, jawabannya itu tidak menenangkan yang lainnya.
"Kamu tau, kamu membuat seisi rumah berguncang." Ujar Thomas, menyela pembicaraan Lyra dengan Art.
Lyra membelalak, menatap pemuda itu, "Maaf?" Lyra merasa salah dengar. Ia berharap ia salah dengar.
Carina yang menjelaskan, "Aku tidak pernah melihat sindrom Death's Mark sekuat ini." Ia menatap Lyra serius, "Kekuatanmu melebihi batas."
"Apa maksudmu melebihi batas?" Lyra bertanya lagi.
—"Sindrom-mu menyiksa dirimu. Membuatmu merasakannya seperti nyata." Sebuah suara memotong pembicaraan. Semua orang menoleh ke pintu, mendapati sosok yang sudah sangat dinanti mereka semua disana.
"Aimee!" Rebecca tersentak, ia berlari menghampiri wanita itu, kemudian langsung memeluknya. Aimee tampak lebih kurus dan lebih tua dari sebelumnya, tapi gadis itu masih tampak tangguh dan kuat.
"Kamu kembali...?" Art membelalak, masih tidak percaya dengan kehadiran wanita itu.
"Kamu tidak senang aku kembali?" Aimee bergurau. Matanya kembali ke Lyra, "Kekuatanmu melebihi kemampuan yang dapat diterima tubuhmu."
Lyra merinding, matanya tertuju ke Lucas, yang hanya menunduk, memandangi lantai. Tingkah lakunya aneh. "Berarti kita harus mengontrolnya." Ujar Lucas, ia menatap Lyra pada akhirnya.
Yang mengejutkan, Aimee bukannya setuju, ia justru menggeleng. "Tidak." Ucapnya. Membuat semua orang di ruangan itu mengernyit bingung, "Kamu harus belajar menguasainya."
"Kenapa?" Lyra bertanya dengan bodohnya.
"Aturan pertama, kamu tidak boleh banyak bertanya." Ucap Aimee, hal itu membuat Lyra langsung terdiam. "Kedua, kita akan ke Pyrus besok malam."
Lucas menyentakkan kaki. []

KAMU SEDANG MEMBACA
Death's Syndrom : DEATH'S MARK
Fantasy[HIGHEST RANK : #4 in FANTASY] SINOPSIS Lyra Meyer, gadis berusia enam belas tahun, yang sedang dilanda duka. Duka yang sangat mendalam, karena kematian saudara kembar laki-lakinya, Leon. Lyra menjadi murung, bahkan sahabatnya, Abigail dan Miles, me...