Sejam kemudian Dokter Odet datang. Cikko diperiksa, dan untung saja hidungnya tidak sampai patah.
"Tapi kenapa terasa sakit, Dok? Benar nggak patah?" tanya Cikko memastikan.
Dokter Odet mengangguk. Ia mendekat menyentuh hidung Cikko dengan jemarinya. "Tidak apa-apa Pak Cikko. Wajar kalau hidungnya sakit, kan kena benturan."
Mora mendengus. Bisa-bisanya Dokter Odet modus ke majikannya. Lihatlah sekarang bibir Dokter Odet senyum-senyum tak jelas. Kemudian pandangan Mora beralih ke Cikko yang sedang mengusap hidung sambil menatap wajah Odet.
"Sama-sama modus."
Cikko dan Dokter Odet menoleh ke Mora. Mereka tidak begitu jelas apa yang dikatakan barusan. "Kamu tadi bilang apa, Mora?" tanya Odet.
Mora menggeleng. "Enggak. Dokter sudah memeriksanya? Kalau begitu saya antar Dokter Odet ke bawah."
Dalam hati Mora ingin dokter Odet segera keluar. Agar matanya tidak melihat kemodusan dari Dokter Odet dan Cikko. Membuatnya muak saja. Sisi jomlonya juga berteriak.
"Ini salepnya. Jangan lupa dioleskan saat malam hari. Dan ini obat saat kamu merasa pusing saja." Dokter Odet merapikan peralatannya kemudian berdiri. Tangannya lalu menyentuh hidung Cikko sekali lagi. "Cepat sembuh."
Cikko tersenyum. "Terima kasih, Dokter Odet." Ia melihat Mora yang mendengus saat sedang berbincang dengan Dokter Odet. Ia tahu dokter cantik itu modus ke dirinya. Tapi Cikko sama sekali tidak menanggapi itu. Sampai saat ini belum ada yang bisa menggantikan posisi Lissa di hatinya.
Mora menutup pintu apartemen dengan perasaan lega. Ia kemudian duduk di sebelah Cikko dan melihat hidung lelaki itu yang masih merah.
"Kenapa kau di sini? Bukannya tadi kau menawarkan diri mengantar Dokter Odet ke bawah?" tanya Cikko bingung saat Mora duduk di sebelahnya.
Mora menggeleng sambil mengambil beberapa obat Cikko. "Aku nggak serius dengan ucapanku."
Cikko mendengus. Gadis aneh. Kemudian Cikko berdiri, merebut obatnya yang ada di tangan Mora. "Kau nggak lupa kalau hari ini jadi pembantu? Cepat bersihkan apartemenku!"
Mora memberenggut. Ia kira dengan sakitnya Cikko membuat lelaki itu lupa dengan tujuannya ke mari. Kemudian Mora berdiri, berjalan ke dapur sambil menghentakkan kaki.
"Buatkan sarapan, Mora!"
Bola mata Mora berputar. Ia baru saja memegang sapu tapi ada perintah lain. Ia kemudian meletakkan sapunya dan bergegas memasak untuk Cikko.
***
Hari ini Cikko memutuskan tidak ke kantor. Pangkal hidungnya masih terasa sakit ditambah ia juga merasa pusing setiap kali banyak gerak. Cikko mengusap hidungnya pelan, tidak mengira tonjokkan Mora sekuat itu.
Tet. Bel apartemen berbunyi.
Cikko berdiri membuka pintu apartemen dan terkejut melihat seorang wanita cantik di depannya. "Loh, Lissa. Kamu sama siapa?"
Cikko mempersilakan Lissa masuk. Ia memperhatikan Lissa yang hari ini memakai terusan berwarna kuning, Lissa terlihat bercahaya dengan warna itu membuat hatinya bergetar. Cikko melihat Lissa yang duduk di sofa sambil menatapnya penuh tanya. Cikko menutup pintu kemudian ia duduk di sebelah Lissa.
"Katanya kamu sakit? Makanya aku ke sini." Lissa melihat hidung Cikko yang memerah dan membengkak itu. Ia memajukan tubuh, kemudian jemarinya menyentuh hidung Cikko.
"Aww! Sakit, Liss."
"Ah. Maaf. Kamu kenapa?" tanya Lissa khawatir.
Cikko menatap wajah Lissa yang terlihat khawatir itu. Sudut hatihya menghangat. Andai kekhawatiran Lissa hanya untuknya. Tapi sayang, Lissa sudah milik sahabatnya. Mengingat sahabatnya membuat Cikko sadar apa yang ia pikirkan barusan.
"Nggak apa-apa. Insiden kecil." jawab Cikko sambil sedikit menjauhkan tubuh dari tubuh Lissa yang terlampau dekat.
Dari dapur Mora mendengar suara percakapan itu. Ia penasaran Cikko sedang mengobrol dengan siapa. Mora kemudian mengintip dan melihat Cikko dengan seorang wanita cantik dan kalem. Ia yang wanita saja mengakui kalau wanita itu cantik. Bagaimana dengan tanggapan lelaki? Pasti menganggap wanita itu adalah bidadari.
Apa Kak Cikko juga menganggapnya seperti itu? pikir Mora.
Mora berbalik kembali berkutat di dapur. Kenapa ia harus merasa aneh? Toh Cikko hanya majikan sebulannya. Tidak lebih.
"Mora! Jangan sampai kau terlena dengan pesonanya."
***
Lissa mencium bau masakan dari arah dapur. Ia mengernyit, tumben sekali Cikko masak. "Kamu masak?"
Cikko yang sibuk dengan pikirannya sendiri tersentak kaget. Ia menoleh ke Lissa dengan satu alis terangkat. "Enggak. Emang kenapa?"
"Tapi aku mencium bau masakan." Karena penasaran Lissa berdiri kemudian berjalan di dapur.
Cikko mengangkat bahu tak acuh. Ia tidak merasa sedang memasak. Kemudian hidungnya mencium bau masakan juga.
Deg!
Tubuh Cikko menegang, ia lupa ada Mora di dapurnya. Ia segera berlari ke dapur lalu melihat Lissa sedang berdiri di depan pintu dapur. Cikko berjalan mendekat bermaksud mengajak Lissa kembali ke ruang tamu. Tapi ia kalah cepat. Lissa sudah masuk ke dapur, membuat Cikko menggeram kesal.
Lissa mengernyit saat melihat seorang gadis sedang membelakanginya. Ia berjalan mendekat, kemudian berdiri di sebelah gadis itu. Pandangan Lissa tertuju ke wajan yang ada di depan lalu ia mendongak menatap gadis yang masih serius dengan masakannya itu. "Hai."
Mora tersentak kaget. Pikiran tentang Cikko langsung lenyap seketika. Ia menoleh dan melihat wanita di samping Cikko tadi tengah berdiri di sebelahnya. Mora tersenyum kikuk. "Ha.. hai."
"Masak cap cai?" Lissa menunduk, menghirup aroma cap cai yang dibuat Mora. Hidungnya mengendus seperti kucing yang membaui ikan asin. Tersadar dengan tingkahnya Lissa berdiri tegak dan tersenyum minta maaf ke Mora.
Mora ketar-ketir saat wanita cantik di depannya itu sedang menunduk dan mencium masakannya. Ia hanya takut dirinya dimarahi karena memasak untuk Cikko. Mora melirik takut-takut ke Lissa. Ia mendesah lega saat Lissa tersenyum lembut. Bibir Mora terbuka, tapi tertutup lagi saat ada suara menginterupsi.
"Lissa!"
Mora dan Lissa menoleh ke sumber suara. Di sana Cikko berdiri di depan pintu dapur. Mora melihat Cikko tampak salah tingkah. Pandangan Mora teralih ke wanita cantik di sebelahnya. Wanita itu tampak biasa saja menatap Cikko.
Apa Kak Cikko mencintai wanita ini? batin Mora.
Cikko menatap Lissa yang berdiri di sebelah Mora. I menggaruk tengkuk yang tak gatal. Entah kenapa ia merasa salah tingkah ditatap oleh dua wanita di depannya itu.
"Cikko siapa gadis ini? Kenapa dia ada di apartemenmu?" Lissa berbalik menatap Cikko. Tangannya terlipat di depan dada, meminta Cikko segera menceritakan siapa gadis di sebelahnya itu. Lissa lalu menatap Cikko dan Mora bergantian.
Mora berbalik pura-pura sibuk. Saat melihat cap cainya sudah matang ia bingung harus melakukan apa. Mora mematikan kompor, menunduk dan menatap cap cai buatannya. Ia tidak berani ikut campur dua orang yang sedang bertengkar. Mora kemudian mengambil piring, memindahkan cap cai itu ke piring lalu meletakkan di atas meja.
"Maaf. Saya permisi dulu." Mora kemudian berlari keluar dapur.
Lissa menatap kepergian Mora. Ia ingin berteriak tapi gadis itu lebih dulu menghilang. Pandangan Lissa, lalu beralih ke Cikko dan menatap penuh selidik. "Dia siapa, Cikko?"
KAMU SEDANG MEMBACA
How Can I Move On?
Любовные романы[COMPLETE] "Kak, maukah kau menikah denganku?" Apa yang terjadi jika sedang makan siang tiba-tiba ada yang mengucapkan kalimat itu? Apakah kamu akan menerima? Atau malah tertawa? Itulah yang dialami oleh Cikko Herdianto, lelaki yang selama ini belum...