Enam-Khilaf

3.9K 284 9
                                    

Pukul tujuh pagi, Mora sampai di apartemen Cikko. Perlu diingat, mulai hari ini dia menjadi 'pembantu'.

Mora menekan tombol apartemen, tapi tidak ada jawaban sama sekali. "Hello! Gue ke sini mau tepatin janji, ya! Kalau nggak dibuka janji batal!"

Tettt... Teett... Tetttt...

Mora menekan bel dengan kasar. Sekarang dia kesal sendiri. Dia melipat tangan di depan dada sambil bersandar di sebelah pintu.

Sedangkan di dalam, Cikko masih berendam. Saat pagi hari dia sangat suka menikmati air hangat itu meresap di kulitnya. Sambil memejamkan mata, membuat tubuh Cikko lebih relaks.

Teett... Tett...

Cikko membuka mata saat mendengar bel apartemennya berbunyi. Dia mengingat apakah ada janji dengan seseorang? Seingatnya tidak.

Tet...

Cikko terpaksa menyudahi kegiatannya. Dia keluar dari bathtub lalu masuk ke bilik shower untuk membasuh busa sabun di tubuh.

Tet..

Sepertinya tamunya tidak mau menunggu lama. Cikko berjalan ke pintu apartemen sambil menahan penasaran siapa tamu tidak sabarannya itu.

Tet...

Mora menekan bel sekali lagi. Jika, masih saja tidak ada jawaban, dia lebih baik pulang dan tidak bertemu dengan lelaki itu lagi. Mora berbalik hendak pulang, tapi baru akan melangkah pintu apartemen terbuka.

"Jadi, pembantu saya sudah datang?"

Mora menoleh mendapati Cikko dengan rambut yang masih basah. Kemudian pandangannya turun ke bawah. Cikko hanya memakai handuk yang melingkar di pinggul. "Aaaa! Kenapa nggak memakai baju?"

Cikko menarik Mora masuk apartemen, kemudian menutup pintu agar tidak ada tetangga yang mendengar teriakan itu. Dia menatap Mora yang bersandar di pintu sambil menutup mata. "Sstt!! Bisa, jangan teriak-teriak?"

Perlahan Mora menurunkan tangan dan sedikit mengintip. Kemudian tangannya menutup wajah lagi saat melihat Cikko masih bertelanjang dada. "Pergi! Jangan di depanku!"

Alis Cikko terangkat. "Pembantu nggak sopan. Beraninya ngusir majikan."

Mora melirik Cikko, kemudian menutup matanya lagi. "Kak pakai baju dulu, deh. Jangan kayak gini."

Cikko menunduk, melihat handuk putih yang melingkar di pinggul. Dia terkekeh. Sepertinya menggoda pembantu barunya seru. Lantas dia maju selangkah, melihat Mora yang mengintip dari sela-sela jemari. "Kenapa? Ini apartemenku."

Mora menghirup aroma sabun Cikko. Huh, rasanya meleleh, ria tidak pernah berhadapan dengan lelaki bertelanjang dada. Serta dada Cikko yang bidang.

"Iya sih, ini apartemen kakak. Tapi jangan seperti ini, aku kan cewek. Nggak baik, Kak. Nanti kalau sama-sama khilaf bagaimana?"

Cikko menahan tawa. Sepertinya gadis di depannya ini berpikiran terlalu jauh. Dia semakin ingin mengerjai pembantu barunya. "Khilaf maksud kamu? Saya lebih suka melakukannya atas kesadaran penuh."

Mata Mora membulat lalu menatap majikannya tidak percaya. "Apa yang kakak katakan? Kakak mau apa? Jangan macam-macam?"

"Hanya satu macam saja." Cikko semakin mendekat, melihat wajah gadis itu memerah. Entah karena marah atau karena malu Cikko tidak tahu.

Mora menegang saat wajah Cikko mendekat ke wajahnya. Apa gue mau dicium?

Mora menelan ludah gugup. Ah sial. Kenapa dalam hati dia berharap majikannya menciumnya? Tubuh Mora gemetaran, bingung harus melakukkan apa.

Mora! Hari pertama lo jadi pembantu masa udah ciuman? Gimana kalau udah seminggu? Terus 'ena-ena'? Mora bingung dengan bisikan hatinya. Dia memejamkan mata saat bibir Cikko hanya beberapa centi dari bibirnya.

Cikko sebisa mungkin menahan tawa yang akan meledak. Pembantu barunya sepertinya takut berbuat yang macam-macam. Cikko memajukan wajah, walaupun dulu sering bermain wanita. Tapi dia tidak gampang mencium bibir wanita.

"Jangan menciumku!"

Bugh.

Entah dapat kekuatan dari mana Mora langsung melayangkan tinjunya tepat di hidung Cikko. Dia lalu menatap Cikko yang mengusap hidungnya kesakitan. Dia tersenyum penuh kemenangan. "Rasakan. Jangan macam-macam denganku."

Cikko mengusap hidungnya yang berdenyut nyeri. "Apa yang kau lakukan, hah!"

Tubuh Mora menegang melihat tuan barunya terlihat marah karena tindakannya barusan. Dia menatap takut-takut. Sekarang menyesal sudah memukul Cikko.

"Sial!" Cikko melihat cairan merah di jemarinya. Hidungnya berdarah dan ini karena ulah Mora. "Saya hanya ingin memberimu sedikit pelajaran. Tapi, apa yang kau lakukan? Sial! Sejak bertemu denganmu saya selalu sial!"

Mora mendongak menatap Cikko takut-takut. Kemudian matanya terbelalak melihat hidung Cikko mengeluarkan darah. Mora mendekat lalu menyentuh hidung Cikko. "Astaga, Kak. Maafkan aku. Aku nggak sengaja."

Cikko menjauhkan tangan Mora dari hidungnya lalu mundur beberapa langkah. "Jangan mendekat, Mora! Sekarang cepat panggil dokter!" Dia kemudian masuk kamar untuk menghapus darah yang terus saja keluar. Pagi yang sial.

Mora melihat Cikko yang menghilang di balik pintu kamar. Dia sekarang ketakutan melihat Cikko yang seperti itu. Tidak seharusnya dia memukul majikannya, tapi menyesalpun tidak ada gunanya. Kemudian Mora ingat dengan pesan majikannya agar memanggil dokter. Dia mengambil ponsel di tas lalu menghubungi dokter langganannya.

"Halo, Dokter. Bisa ke tempatku? Bukan aku yang sakit. Tapi temanku. Aku chat alamatnya." Setelah itu Mora memutuskan sambungan.

Mora melepas tas slempangnya dan melempar ke sofa. Dia berlari ke dapur, memasak air hangat untuk mengompres hidung Cikko. Mora membuka kulkas, berharap ada teh atau semacamnya tapi yang dia temukan malah kopi.

"Nggak apa-apa, deh. Yang penting kakak minum air hangat," gumamnya.

Mora bergegas memindahkan air panas ke baskom yang sudah berisi air dingin. Kemudian sisa air panasnya, dia tuang ke gelas kopi.

Saat di depan kamar Mora bingung, kamar Cikko yang mana? Kemudian Mora membuka pintu sebelah kanan, sedikit mengintip dan melihat Cikko sudah berpakaian dan duduk di ranjang sedang membersihkan darahnya. "Kakak."

Mora berjalan masuk, meletakkan baskom di lantai kemudian berlari ke kamar mandi.

Cikko mengernyit melihat air hangat yang  di bawa Mora. Kemudian dia menoleh saat mendengar langkah kaki.

"Sini, Kak. Aku kompres dulu." Mora mencelupkan handuk kecil ke air hangat kemudian mendekatkannya ke hidung Cikko.

"Ah!" pekik Cikko saat merasakan tangan Mora menekan hidungnya.

"Sakit ya, Kak?" Mora menjauhkan tangan.

"Harusnya kompres air es. Supaya darahnya berhenti. Bukan malah pakai air hangat," ujar Cikko heran.

Kening Mora berkerut. "Udah deh, Kak. Nggak usah banyak protes yang penting dikompres, kan?"

"Bodoh!"

Mora tidak menjawab. Satu tangannya berada di rahang Cikko sedangkan satu tangannya lagi menekan handuk ke hidung. Mora melihat mata Cikko yang terpejam. Dari jarak sedekat ini Cikko terlihat sangat tampan. Kulit kecokelatannya membuat Cikko terlihat maco. Perhatian Mora lalu tertuju ke bulu mata Cikko yang cukup lentik. Sungguh dia iri dengan bulu mata itu.

"Sudah belum?" Cikko merasakan tidak ada tekanan di hidungnya. Mora juga tiba-tiba tidak bersuara. Cikko membuka mata, melihat Mora mengamati wajahnya.

Mora tergagap. Apa yang baru saja dia lakukan? Mengagumi majikannya yang memesona dan menakutkan itu?

"Sudah, Kak." Mora menjauh dari Cikko. Dia menunduk, membereskan baskom di lantai kemudian segera keluar.

Cikko mentertawakan Mora yang terlihat salah tingkah. "Gue emang ganteng."

How Can I Move On?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang