Lima Belas-Pemilik Hati

2.5K 199 5
                                    

Sudah lebih satu jam Mora mengetik kata demi kata untuk naskahnya. Sesekali ia mengedarkan pandang mengamati suasana di restoran. Apalagi adegan di naskahnya bercerita tentang seorang lelaki dan wanita kencan romantis. Jadi Mora lebih bisa menggambarkan suasana di restoran ke dalam naskahnya.

"Jangan tertawa!"

Mora mendengar teriakan itu. Sepertinya ia pernah mendengar suara itu. Mora mengalihkan pandangan ke penjuru restoran hingga melihat seorang wanita sedang memukul lengan pria di sampingnya. Mora tidak bisa melihat siapa lelaki, karena mereka duduk membelakanginya. Kemudian wanita itu duduk menyamping. Mora memicingkan matanya. Ia merasa pernah bertemu dengan wanita itu.

Kemudian pria di samping wanita itu menoleh, Mora tersentak kaget. Apa penglihatannya tidak salah? Mora melihat Cikko yang duduk di samping wanita itu.

Mora menepuk kening. Wanita itu yang beberapa hari lalu ke apartemen Cikko. Mora menunduk, entah kenapa ia jadi lemas. Padahal ia ingin menjadikan Cikko pasangannya untuk ke pernikahan Ariel.

Tapi kenapa Mora juga merasa sedih? Apa karena Cikko ternyata sudah punya kekasih? Mora menggeleng. Tidak!

Mora kemudian melihat Cikko dan wanita itu sudah pergi. Ia lega, setidaknya matanya tidak meminta terus menatap ke arah Cikko. Kemudian Mora melanjutkan nasakahnya yang tinggal beberapa bagian lagi.

Jemari Mora menekan keyboard dengan kasar. Bayangan saat Cikko tertawa kencang tadi memenuhi pikirannya. Ia heran, Cikko tidak pernah tertawa seperti itu saat di dekatnya. Sedangkan bersama wanita itu, Cikko bisa tertawa lepas.

"Ah sial!!"

Pikiran Mora mendadak blank. Ia lupa dengan alur cerita yang tadi sempat ia buat. Mora menekan ctrl S kemudian mengklik tanda silang merah. Ia kemudian mematikan laptopnya lalu pergi dari restoran.

"Niat hati pengen nyari inspirasi malah ilang gara-gara tawa Kak Cikko! Sial!"

***

Mora melihat jam di ponsel, pukul delapan malam. Ia sudah membersihkan apartemen Cikko, tapi sampai sekarang lelaki itu belum terlihat. Tumben sekali Cikko belum pulang, biasanya datang beberapa menit setelah Mora datang.

Mora menggaruk kepala bingung kenapa ia sekarang malah duduk di sofa. Padahal ia sudah menyelesaikan pekerjaannya dari tiga puluh menit yang lalu.

Lo nunggu Cikko, Mora.

Mora memukul kepala. Ia bingung kenapa hati dan pikiranya tertuju ke Cikko. "Apa yang ada di pikiranku?" geramnya sambil terus memukul kepala.

"Kenapa mukul-mukul kepala kayak gitu?"

Gerakan Mora seketika terhenti. Ia mendongak, melihat Cikko yang berdiri di depan pintu. Mora berdiri kemudian menggeleng menjawab pertanyaan Cikko barusan.

"Kenapa belum pulang?" Cikko berjalan masuk. Ia bingung kenapa Mora belum pulang, biasanya gadis itu buru-buru pergi. Pandangan Cikko lalu menyapu ke ruang tamu yang sudah rapi dan bersih.

"Ini mau pulang," jawab Mora sambil pandanganny mengikuti setiap gerakan Cikko. Lantas ia mengikuti Cikko yang berjalan ke ruang tengah. Kemudian tanpa sadar Mora mengikuti Cikko hingga ke kamar.

Cikko menghentikan langkah. Ia berbalik saat mendengar langah kaki di belakangnya. Ia menoleh lalu keningnya mengernyit. "Ngapain ikut?"

"Eh!" Mora menghentikan langkah. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan. Ia sekarang berada di kamar Cikko. Mora menggaruk tengkuk. "Oh ya kakak mau dibuatin kopi?" Akhirnya Mora mengajukan pertanyaan itu, daripada semakin malu.

Cikko menggeleng. Apa Mora mengikutinya hanya untuk menawarkan kopi? Cikko menarik dasinya hingga lepas tapi pandangannya tidak lepas dari Mora yang terlihat gugup itu.

"Saya sudah minum kopi di rumah Lissa." Cikko berbalik meletakkan dasinya ke keranjang tempat pakaian kotor.

Lissa? batin Mora. Apa wanita yang bersama Cikko tadi bernama Lissa? Apa wanita itu pacar Cikko? Atau tunangan Cikko? "Pacar kakak?" tanya Mora spontan.

Cikko menoleh. Ia sedikit merasa aneh dengan pertanyaan Mora. Cikko lalu menarik napas panjang. "Bukan." Saat mengatakan itu hati Cikko rasanya berat.

"Tunangan?"

"Bukan."

"Lalu siapa?"

Cikko menarik napas panjang. Kenapa Mora seperti ingin tahu? Cikko menatap Mora tajam. Lalu gadis itu menunduk ketakutan. "Dia pemilik hati." Setelah mengucapkan itu Cikko masuk ke kamar mandi. Ia tidak mau Mora bertanya lebih jauh tentang Lissa. Jelas itu akan membuat hatinya sakit.

"Pemilik hati?" gumam Mora pelan.

Mora mendunduk. Kenapa ia ingin marah saat mengetahui hati Cikko sudah ada yang memiliki. Mora cemberut, apa rencananya akan berakhir sampai di sini saja?

"Tapikan mereka belum resmi. Masih ada kesempatan." Sudut bibir Mora terangkat. Jadi ia sekarang bisa melanjutkan misi mendekati Cikko. Mora kemudian keluar dari kamar dengan senyum mengembang.

"Tunggu saja Ariel. Gue pasti yang menangin permainan ini."

How Can I Move On?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang