Cikko merenung di balkon kamar, memikirkan dirinya sendiri yang terkadang bertingkah aneh. Setiap pagi dia selalu menunggu Mora di apartemennya. Saat Mora sudah datang, entahlah hatinya senang dan lega. Lalu saat Mora membersihkan apartemen, Cikko sering kali mencuri pandang.
Tidak hanya membayangkan Mora. Cikko juga membayangkan jika Lissalah yang membersihkan apartemennya. Melihat Lissa menyapu, melihat Lissa memasak dan melihat Lissa mencuci piring. Entah sampai kapan Cikko bisa menghilangkan sosok Lissa dari pikirannya.
"Lissa...."
Harusnya perasaan itu tidak boleh terjadi. Lissa sudah bahagia dengan cintanya. Bahkan sebentar lagi akan menjadi seorang ibu. Harusnya Cikko tidak merusak kebahagiaan yang datang di antara Lissa dan Ziddan.
Cikko menunduk menatap jalan raya yang terlihat satu garis. Perasaan ini sudah terlarang, tapi kenapa perasaan ini tidak kunjung hilang? Saat dia melihat seorang suami istri, dia selalu membayangkan dirinya dan Lissa. Tapi, sayang sampai kapanpun hal itu tidak akan terjadi.
Beberapa menit kemudian Cikko masuk ke kamar. Dia mencari sebuah foto yang selalu disimpan di laci. Dia melihat sebuah foto dirinya, Lissa dan Ziddan. Foto yang diambil saat tahun baru di Singapura. Jemari Cikko menyentuh wajah Lissa. Andai dia tidak terlambat. Andai dia datang lebih dulu. Akankah Lissa menjadi miliknya?
"Aku masih mencintaimu."
***
Sepulang dari apartemen Cikko, Mora diajak teman-temannya ke kelab. Sepanjang perjalanan dia mengingatkan dirinya sendiri agar tidak banyak minum.
Mora masuk ke ruangan yang sudah ramai. Matanya memicing, menyesuaikan lampu warna-warni. Pandangannya mencari ke tempat teman-temannya berada. Kemudian dia melihat dua temannya sedang duduk bersama tiga orang lelaki. Tidak menunggu waktu lama, Mora berjalan mendekat. "Tina! Fafa!"
Tina dan Fafa menoleh. Tina menarik tangan Mora agar duduk di sampingnya. Kemudian memperkenalkan lelaki yang baru dia kenal.
"Mora." Mora memperkenalkan diri ke tiga lelaki itu. Dia melihat salah satu lelaki itu terus menatapnya intens. Dia tersenyum tipis kemudian mengalihkan pandang.
"Apa gue ganggu kalian?"
Mora dan temannya menoleh. Mereka melihat Ariel berdiri di samping meja. Mora kaget melihat kelaki itu.
"Hai, Mor. Bro! Bisa tinggalin tiga gadis ini? Gue ada urusan penting sama mereka," kata Ariel mengusir tiga lelaki di meja Mora.
Tiga lelaki itu tampak keberatan tapi akhirnya meninggalkan meja. Ariel tersenyum puas kemudian duduk di sebelah Mora. Tangannya lantas melingkar ke pundak Mora. "Makin cantik aja."
Mora melotot sambil melepaskan rangkulan Ariel. Bohong jika dia tidak suka dengan perkataan Ariel. Dia suka, bahkan sekarang jantungnya tengah berdegup kencang.
"Gimana? Udah seminggu, nih. Udah nemuin gebetan belum?" tanya Ariel.
Mora mendengus, sudah menebak Ariel pasti akan menanyakan hal ini. Mora berdiri dan menatap Ariel tak suka. "Jelas gue udah nemuin pengganti lo," jawabnya angkuh.
Ariel menarik tangan Mora. Ibu jarinya mengusap punggung tangannya agar gadis itu sedikit tenang. "Jangan emosi, Sayang. Siapa lelaki itu? Boleh aku tahu?"
Mora menggigit bibir bawahnya, bingung harus menjawab apa. Jika jujur jelas Ariel akan semakin mengejek. Mora menarik napas panjang sambil memejamkan mata. Saat itulah wajah tampan Cikko dengan kaus basket tanpa lengan muncul di pikirannya. "Cikko! Nama lelaki itu Cikko."
Ariel menatap dengan pandangan menyelidik, tidak percaya Mora bisa melupakannya begitu saja. Ariel menarik tangan Mora dan menggenggamnya erat. "Apa dia lebih baik dariku?"
Tangan Mora terasa hangat. Sungguh dia merindukan tangannya berada dalam genggaman Ariel. Mora menunduk, menatap tangannya yang digenggam Ariel.
Pandangan Ariel mengikuti arah pandang Mora. Dia terkekeh geli melihat Mora yang menatap genggaman mereka. Satu tangan Ariel yang bebas menarik dagu Mora hingga pandangan gadis itu teralih. "Kenapa natapnya kayak gitu? kangen?"
Mora mendapati Ariel tersenyum mengejek. Saat itulah dia sadar apa yang sudah diperbuat. Dia segera menyentak membuat tangannya yang sempat hangat itu terlepas dari genggaman Ariel. Mora mengusap tangannya ke baju, seolah hal barusan membuat tangannya kotor. "Enak saja kau bilang!"
Ariel terkekeh. Mora tidak pandai berbohong. Dia cukup tahu dari tatapan kerinduan yang tadi ditunjukkan Mora. Ariel mencondongkan wajah, menarik napas panjang, menghirup aroma tubuh Mora yang masih sama.
Mora mendorong pundak Ariel hingga lelaki itu menjauh. Matanya menatap Ariel tajam. "Jaga sikapmu! Kau sudah punya tunangan!"
Mora mengalihkan pandang ke lantai dansa. Dia melihat pengunjung yang asyik menggoyangkan pinggul mereka. Sesekali Mora melirik Ariel yang masih setia di tempatnya. Lalu pandangannya tertuju ke Tina dan Fafa yang menatapnya tanpa mengeluarkan sepatah kata.
"Kenapa kalian diem?" tanya Mora ke Tina dan Fafa.
Ariel mengalihkan pandang ke dua teman Mora. Benar, sejak datang dua teman Mora sama sekali tidak mengeluarkan sepatah katapun. Berbeda saat di pesta pertunangannya dulu. "Kapan aku bisa bertemu gebetanmu itu?" tanya Ariel kembali ke topik awal.
Sabar, Mora. Sabar. Mora menarik napas panjang, dan mengembuskan dengan perlahan. Menghadapi mantan pacarnya harus ekstra sabar. Mora menatap Ariel dengan ekspresi tenangnya. "Dia bukan orang sembarangan. Dia sibuk."
Ariel manggut-manggut, masih tidak percaya dengan ucapan Mora. Bisa saja itu hanya alasan saja. "Kalau begitu kapan aku bisa bertemu dengannya?" Ariel tidak mau menyerah.
"Ya selama dia nggak sibuk."
"Oh, ya? Kalau gitu waktu gue nikah lo ajak dia." Ariel tertawa dalam hati saat melihat raut wajah Mora yang pucat pasi. Bam! Dia sudah tahu ucapan Mora tadi hanyalah fiktif. Ariel berdiri, mengecup pipi Mora lalu berlalu pergi begitu saja.
Tubuh Mora menegang, kemudian menyandarkan punggung di sandaran kursi. Kenapa Ariel harus menciumnya? Kenapa juga dia sampai terpancing dengan omongan Ariel? Harusnya tadi diam saja saat Ariel tanya tentang gebetan. Sekarang Mora bingung, harus membawa siapa ke pesta pernikahan Ariel? Sendiri? Yang benar saja, bisa-bisa Ariel mempermalukannya.
"Mora! Kenapa lo sampai kepancing omongan dia, sih?" Tina bersuara. Dia mengusap pundak Mora menenangkan. Dia mendengar bagaimana mantan pacar Mora itu mengejek sahabatnya. Daritadi mulutnya ingin sekali membalas ucapan Ariel. Tapi dia menahannya, sadar dengan posisinya tidak seharusnya ikut campur.
"Iya, Mor. Kenapa juga tadi sebut Kak Cikko? Apa lo mau ajak Kak Cikko ke pernikahan Ariel? Jangan jadiin Kak Cikko taruhan, deh," kata Fafa menasehati.
Mora diam, tidak mendengarkan ucapan sahabatnya. Dia terlalu kaget dengan kejadian barusan. Dia membenarkan posisi duduknya, lalu mengusap wajahnya kasar. Kenapa hari ini begitu menyebalkan?
KAMU SEDANG MEMBACA
How Can I Move On?
Romance[COMPLETE] "Kak, maukah kau menikah denganku?" Apa yang terjadi jika sedang makan siang tiba-tiba ada yang mengucapkan kalimat itu? Apakah kamu akan menerima? Atau malah tertawa? Itulah yang dialami oleh Cikko Herdianto, lelaki yang selama ini belum...