Pagi hari Mora sudah berada di apartemen Cikko. Hari ini gadis tampil beda. Dari semalam ia terus memikirkan strategi agar Ariel tidak menjelek-jelekanya lagi. Dan keputusannya sudah bulat, ia harus mengajak Cikko ke pesta pernikahan Ariel. Setelah itu ialah yang memenangkan tantangan.
Nekat memang, tapi Mora tidak bisa berbuat yang lainnya. Ia tidak mungkin mencari atau menyewa laki-laki lain untuk menjadi pacarnya. Lebih baik ia menabung daripada buang-buang duit untuk hal yang aneh-aneh. Karena itulah Mora memutuskan mengajak Cikko. Nah! Yang jadi masalahnya adalah apakah Cikko mau menemaninya?
Mora dari semalam juga memikirkan itu. Hingga sebuah ide melintas di pikirannya. Ia akan membuat Cikko terpesona kepadanya. Lalu ia akan mengajak Cikko ke pernikahan Ariel. Jadilah Mora sekarang mulai melancarkan strategi yang sudah ia susun rapi.
"Mo.. Mora...." Cikko mengucek mata. Apa matanya masih normal? Kenapa ia melihat gadis cantik di apartemennya? Saat beberapa kali mengucek matanya hasilnya tetap sama. Gadis itu adalah Mora. Kenapa Mora beda gini?
Cikko tergagap melihat penampilan Mora pagi ini. Gadis itu memakai rok span sepaha dengan kemeja putih ketat. Rambut Mora yang biasa dicepol tergerai indah. Wajah terlihat menggunakan make up.
"Hai, Kak." Mora melihat raut wajah Cikko yang kaget melihat penampilannya. Ia tersenyum manis. Semoga Cikko terpesona dengan penampilannya.
"Kamu kenapa pakai pakaian seperti itu? Lihat wajahmu seperti ondel-ondel." Akhirnya Cikko bisa mengusai dirinya. Ia sekarang menjadi lelaki yang cool seperti biasanya. Tidak kaget dan sempat terpesona dengan penampilan baru Mora.
Mora seolah terempas ke dasar bumi. Padahal ia sudah dandan mati-matian berdandan tapi Cikko malah mengatainya ondel-ondel. Mora berlari ke kamar mandi dekat dapur. Apa make up yang ia kenakan begitu mencolok seperti ondel-ondel? Mora melihat wajahnya di cermin. "Cantik begini dibilang ondel-ondel. Perlu diperiksa deh mata Kak Cikko."
Mora menyisir rambutnya yang panjang dengan jemari lalu merapikan poninya ke samping. Ia memiringkan wajah, bibirnya tak henti tersenyuman. "Lo cantik bener, Mor."
"Mora! Sarapannya mana?"
Mora tersentak kaget lalu menggeram mendengar teriakan Cikko. Ia keluar dari kamar mandi dan berjalan anggun ke dapur. Mora memberikan senyum terbaiknya saat Cikko menatapnya. "Iya, Kak. Sabar ya," jawabnya lembut.
Satu alis Cikko terangkat. Apa ia tidak salah lagi? Mora berjalan pelan dan berbicara lembut? Tidak seperti Mora yang biasanya yang grasah-grusuh. "Mora? Kamu nggak ngigau, kan?"
Gerakan tangan Mora terhenti saat mendengar pertanyaan itu. Ia berbalik dan tersenyum tipis ke Cikko. "Kenapa memangnya, Kak?"
"Aneh."
Mora melotot mendengar ejekan itu. Bibirnya terbuka ingin membalas tapi ia sadar sedang dalam misi mendekati Cikko. Jadi ia ingin terlihat anggun dan cantik. Seperti wanita yang datang ke apartemen Cikko beberapa hari yang lalu. "Apanya yang aneh? Aku mulai mengubah penampilanku, Kak. Biar nggak diejek Kak Cikko masih anak kuliahan."
Cikko geleng-geleng. Jadi sekarang Mora sedang membuktikan jika dirinya bukan anak remaja lagi? Lalu pandangan Cikko menatap Mora yang menunduk itu. Ia melihat wajah Mora dari samping. Ia bisa melihat bulu mata Mora yang lentik dan hitam karena maskara. "Pakai berapa botol maskara kamu? Sampai bulu matamu seperti bulu sapu."
Mora hampir naik darah. Tapi ia tetap mempertahankan raut lembutnya. Ia lalu menyentuh bulu matanya yang lentik. Enak saja dia menyamakan bulu mataku seperti bulu sapu. "Tapi ini lentik, Kak. Lihat," ujarnya sambil mengedip genit.
Cikko menutup matanya. Sungguh ia muak dengan sikap Mora yang sok lembut itu. Apalagi kejadian barusan, saat Mora mengedip genit. Tidak cocok dengan raut Mora yang sebenarnya sangat polos. "Cantikan Lissa."
Mora mengernyit, mendengar Cikko menyebutkan nama lain. "Cantikan siapa, Kak?"
Deg!
Tubuh Cikko menegang. Apa ia tadi menyebut nama Lissa? Ia menatap Mora yang menunggu jawabannya itu. "Bukan siapa-siapa. Manasarapanku?" Cikko mengalihkan topik pembicaraan.
"Iya. Ini masih disiapin," jawab Mora sambil menyiapkan sandwich.
"Besok-besok jangan dandan kayak gini lagi."
"Cantik, tahu."
Cikko mengangkat bahunya tak acuh. Menurutnya Mora tidak pantas memakai pakaian seperti itu. Mora itu setipe dengan Lissa yaitu polos. Jika menggunakan make up berlebihan akan terlihat aneh.
Mora meletakkan sepiring sandwich ke Cikko, kemudian keluar dari dapur dengan perasan kecewa. Padahal ia sudah memikirkan ini semalaman. Tapi rencananya gagal total. "Dasar! Udah dandan juga."
***
Cikko mengaduk bakso di depannya, hingga kuah itu tercecer ke meja. Ia teringat penampilan Mora tadi pagi. Entah apa yang sedang di pikirkan Mora, hingga memakai baju yang sangat tidak cocok dengan karakternya.
"Cikko. Lihat kuah baksonya tumpah."
Mendengar peringatan itu Cikko tergagap. Ia menatap Lissa yang menatapnya sebal itu. Cikko kemudian menunduk melihat kuah bakso yang tercecer di meja. "Sorry. Sorry."
Lissa memutar bola matanya. Ia tidak tahu apa yang sedang dipikiran Cikko. Dari tadi lelaki itu mengernyit dan sesekali geleng-geleng. "Bakso enaknya kayak gini malah diaduk-aduk doang." Lissa kemudian menusuk baksonya dengan garpu.
"Iya bumil. Bumil bawaanya marah-marah." Cikko mendekat kemudian mencubit pipi Lissa yang mengembung karena memakan bakso bulat-bulat.
Lissa melotot. Ia mulai mengunyah bakso di dalam mulutnya kemudian menelannya. "Cikko apaan, sih. Siapa yang marah-marah?"
"Kamulah. Baru aja di tinggal Ziddan satu jam, bawaannya sensi mulu."
Cikko dan Lissa baru dari bandara mengantar Ziddan yang pergi tugas ke Maluku. Cikko tadi melihat adegan di mana Lissa merengek meminta ikut. Tapi Lissa sedang hamil muda, dan dokter menyarankan agar tidak pergi-pergi dulu.
Pikiran Cikko menerawang saat melihat Ziddan dan Lissa berpelukan. Mereka berdua seperti enggan berpisah satu sama lain. Hati Cikko terasa tercubit, ia sakit melihat itu. Andai, dirinya yang berada di posisi Ziddan. Tapi angan-angan selamanya akan menjadi angan-angan.
"Dari tadi melamun terus." Lissa memperhatikan Cikko yang kembali melamun itu.
"Siapa yang melamun?"
"Kamulah. Masa aku." Lissa mengaduk es tehnya dengan sedotan tapi matanya tidak pernah lepas dari Cikko. Apa Cikko ada masalah?
"Tadi aku lagi bayangin kalau kamu lagi hamil bawaannya marah-marah terus nanti anaknya kalau udah lahir gimana, ya? Pasti kayak papanya marah-marah."
Lissa cemberut. Ia berdiri dan menarik hidung Cikko kencang. "Bayanginnya yang aneh-aneh!"
"Aahh! Ampun!!" Cikko mengusap hidungnya yang terasa panas. Ia kemudian tertawa. Sejak hamil Lissa, wanita itu lebih agresif. Tidak seperti dulu yang malu-malu. Bahkan Lissa sekarang tidak malu menjadi tontonan orang di restoran karena ulahnya barusan.
"Bercanda, kali. Bumil marah-marah mulu. Eh tapi coba kamu pikir kalau lagi hamil marah-marah anaknya nanti kayak gimana?"
Lissa mengusap perut. Dalam hati ia berdoa agar anaknya tidak seperti ucapan Cikko. Mata Lissa memicing saat Cikko tertawa. Ia berdiri kemudian duduk di sebelah Cikko dan memukul lelaki itu. "Jangan tertawa!"
"Padahal aku cuma bercanda." Cikko menangkap tangan Lissa hingga wanita itu tidak berkutik. Cikko menatap wajah cantik Lissa yang memerah. Sudut bibirnya tertarik ke atas. Sungguh ia mencintai wanita di depannya.
Lissa menunduk, melihat tangannya digenggam tangan Cikko. Lissa tergagap, kemudian melepas genggaman itu. Setelah itu kembali ke tempat semula.
"Sial!" Cikko menggaruk tengkuk. Ia mulai merasa canggung.
KAMU SEDANG MEMBACA
How Can I Move On?
Roman d'amour[COMPLETE] "Kak, maukah kau menikah denganku?" Apa yang terjadi jika sedang makan siang tiba-tiba ada yang mengucapkan kalimat itu? Apakah kamu akan menerima? Atau malah tertawa? Itulah yang dialami oleh Cikko Herdianto, lelaki yang selama ini belum...