Dua Belas-Majikan Aneh

2.6K 226 10
                                    

Mora berlari ke apartemen Cikko karena sore ini terlambat. Napasnya mulai tidak beraturan. Dia menekan pin apartemen kemudian segera masuk. Dia mengernyit, apartemen Cikko masih gelap.

"Huh!" Mora mendesah lega. Dia menyalakan lampu kemudian meletakkan tas di sofa. Lalu berjalan gontai ke dapur, membuka kulkas mencari sebotol minuman dingin. Mora mengambil air meneral dan menegaknya langsung dari botolnya.

Hari ini Mora dibuat sebal dengan editornya yang marah-marah dan bilang jika naskahnya kurang feel. Tidak hanya itu editornya mengomel tak jelas saat Mora berpamitan pulang. Mau tidak mau dia mendengarkan omelan editornya sampai selesai, dan itu membuatnya terlambat ke apartemen Cikko.

Glek!

Terdengar suara tenggorokan Mora saat meminum. Dia menghabiskan setengah air mineral. Setelah melepas dahaga dia mengambil sapu dan kemoceng kemudian mulai membersihkan apartemen.

Mora mengawalinya mulai dari membersihkan ruang tamu. Setelah ruang tamu bersih dia pindah ke ruang tengah. Membersihkan meja di dekat televisi, menata majalah yang berceceran dan meletakkan ke tempat semula. Selama bersih-bersih Mora tidak menemukan satu fotopun. Dia bingung, apa Cikko hidup sebantang kara?

"Untuk apa memikirkannya?" Mora menggeleng. Dia tidak boleh penasaran dengan majikannya itu. Mora menyapu ruang tengah dengan cepat saat menyadari waktu telah berjalan cepat.

Cekrek!

Dari dapur Mora mendengar suara pintu apartemen dibuka. Dia berlari keluar dan melihat Cikko berdiri dengan dua kantung plastik di tangan. "Bawa apa itu, Kak?"

Cikko mengangkat dua kantung kresek yang berada di ke dua tangan. Saat di perjalanan pulang, dia melewati restoran cepat saji. Entah kenapa dia ingin sekali memakan ayam goreng dari restoran cepat saji itu. "Saya bawa makanan. Ayo siapkan!"

"Iya, Kak." Mora berjalan mendekat, mengambil dua bungkus kresek kemudian membawanya ke dapur. Sesekali dia mengangkat dua kantung kresek dan menghirupnya dalam. Seketika cacing-cacing di perutnya berteriak meminta jatah.

Cikko melihat Mora yang sudah menghilang ke dapur. Dia mengacak rambut kemudian masuk ke kamar untuk membersihkan diri. Dia tadi sempat salah tingkah saat baru sampai apartemen dan Mora sudah menyambutnya. Tiba-tiba ingatan saat Mora tersenyum tadi pagi memenuhi otaknya.

Sejam kemudian Mora dan Cikko sudah duduk di depan meja makan. Mereka melahap ayam goreng tanpa diselingi obrolan apapun. Hanya lirikan Mora yang terpesona melihat penampilan Cikko.

Cikko malam ini memakai kaus basket tanpa lengan dengan celana pendek. Mora dapat melihat lengan Cikko yang berotot. Lelaki itu hampir sama dengan gambaran tokoh yang selalu ditulis di novelnya.

"Kenapa kamu jilati tulangnya?" Cikko terkekeh geli. Lima menit lebih dia menatap Mora yang menjilati tulang ayam. Apalagi Mora menatapnya, tapi dari tatapan matanya terlihat sedang memikirkan sesuatu. Cikko tidak tahu apa yang ada di pikiran Mora sampai berbuat konyol seperti itu.

"Eh maaf." Mora menunduk malu dan merutuki kebodohannya barusan. Pasti dia tadi mengeluarkan ekspresi bodoh. Dia malu, kenapa bisa mempermalukan dirinya sendiri?

Tapi itu semua karena Kak Cikko terlihat tampan batin Mora membela diri. Perlahan dia mengangkat wajah, melihat Cikko yang menatapnya dengan bibir menahan tawa. "Kakak. Kenapa lihatnya gitu?"

Cikko tergagap. Tangan kanannya menggaruk tengkuk yang tak gatal. Apa dia tadi terlalu lama menatap Mora? Cikko melirik, gadis itu menunduk dengan pipi yang sedikit bersemu. Cikko mengambil segelas air putih di depannya, dan menegukknya hingga tandas.

"Saya hanya heran saja, tampangmu tadi begitu bodoh," jawab Cikko beberapa menit kemudian.

Mora mengerucutkan bibir. Dia saja menyadari jika dirinya bodoh ditambah dengan ucapan Cikko barusan, membuatnya semakin cemberut saja. Mora buru-buru menyudahi makannya. Dia berdiri, mengambil piringnya dan piring Cikko lalu berbalik mulai mencucinya.

Cikko melihat punggung Mora. Seumur hidup dia tidak pernah melihat seorang gadis mencuci piring di apartemennya. Teman kencannya dulu jelas tidak ada yang mau tangannya bersentuhan dengan sabun pencuci piring. Tanpa sadar Cikko tersenyum melihat punggung kecil Mora.

Seulas senyum terbit dari bibir Cikko. Dia berdiri lalu berjalan menghampiri Mora yang masih mencuci piring. Cikko melihat tangan mungil itu dengan cekatan mengusap piring kotor dengan sabun lalu membilasnya hingga bersih. "Sini saya bantu."

Mora tersentak. Dia mendongak, melihat Cikko berdiri di sampingnya dan merebut piring di tangannya. Mora bergeser saat parfum Cikko mulai tercium. Bau citrus yang dia sukai.

Krek!

Pikiran tentang parfum dan pikiran bodoh Mora terputus. Dia mendongak, melihat Cikko yang tampak biasa saja mencuci piring kotor. Mora keheranan, untuk apa Cikko membantunya? "Kak. Nggak usah deh."

Mora merebut piring yang ada di tangan Cikko, kemudian mencucinya. Dia berdoa dalam hati agar Cikko segera pergi. "Duh banyak yang pakai parfum citrus. Gue nggak pernah berpikiran kayak gini. Otak gue makin nggak berfungsi," gumamnya merutuki dirinya sendiri.

Cikko berbalik, menyandarkan bokongnya di ujung meja makan. Tangannya terlipat di depan dada sedangkan matanya menatap punggung Mora. "Saya hanya ingin membantu."

Mora menyelesaikan kegiatan cuci piring. Dia membilas tangannya dengan air bersih kemudian berbalik menatap Cikko. Sungguh dari kemarin dia dibuat bingung dengan sikap Cikko. Kemarin dirinya tiba-tiba saja dibuatkan teh. Tadi dia dibelikan ayam goreng dan sekarang Cikko membantunya mencuci piring. "Sudah selesai, Kak. Lagiankan aku pembantu di sini," sindirnya.

Benar apa yang dikatakan Mora, gadis itu hanya pembantu sementara. Tapi, kenapa Cikko menganggap Mora bukan pembantu? Dia menatap Mora dengan pandangan tak suka. Dia ingin membantah, tapi bagaimanapun juga yang menyuruh Mora menjadi pembantu adalah dirinya. Aneh saja jika dia tidak terima. "Terserah!" Kemudian dia berlalu.

Mora mengernyit bingung. Majikannya benar-benar aneh. Setelah membantunya mencuci piring, Cikko kembali ke sifat aslinya. "Dasar majikan aneh."

Mora mengangkat bahu kemudian keluar dari dapur. Tanpa berpamitan, dia langsung keluar dari apartemen Cikko. Mora berjalan cepat ke arah lift. Kenapa hari ini semua orang membuatnya sebal? Tadi editornya, sekarang Cikko. Mora menarik napas panjang lalu masuk lift.

How Can I Move On?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang