"Kenapa tampangmu kusut seperti itu, Cikko?"
Cikko tergagap lalu tersenyum masam ke Lissa. Malam hari, ia pergi ke rumah Lissa dan Ziddan. Ia bosan di apartemen, jadi ia memilih ke rumah sahabatnya itu.
Perhatian Cikko teralih ke Ziddan yang baru bergabung itu. "Malem-malem mandi lo?" tanyanya sambil menahan tawa melihat rambut basah Ziddan.
Ziddan duduk di sebelah Cikko lalu meninju lengan sahabatnya itu. "Ini juga gara-gara lo. Coba kalau lo nggak ke sini, pasti gue udah bikin an.... ah sakit!" Kalimatnya terpotong karena cubitan di lengan. Ia menoleh ke istrinya yang sudah duduk di sebelahnya itu.
Ziddan mengusap lengan dan melihat kulitnya mulai memerah. "Sakit, Sayang. Kenapa dicubit, mending cium aja."
Cikko geleng-geleng. Cinta bisa mengubah seorang Ziddan yang tempramental menjadi seorang yang lebih manja. Cikko mendongak, ia melihat Lissa yang bersemu merah itu. Dalam hati ia ingin, ada wanita yang bersemu merah karena tingkahnya.
"Huh...." Cikko menarik napas panjang.
Lissa dan Ziddan saling pandang. Mereka berdua melirik Cikko yang seperti sedang mengalami sesuatu itu.
Kemudian Ziddan menepuk lengan Cikko. "Lo kenapa?" tanya Ziddan.
Cikko menggeleng. Masa ia menceritakan apa yang sebenarnya terjadi? Bisa-bisa Ziddan dan Lissa mentertawakannya. "Nggak apa-apa."
"Beneran? Aku marah, loh, kalau kamu bohong," kata Lissa.
Cikko menoleh ke Lissa kemudian menggeleng tegas. Tapi sudut hatinya menghangat karena ucapan Lissa barusan. Entahlah ia masih saja memiliki perasaan itu. Perasaan yang sudah susah payah ia kubur tapi dengan mudah muncul kembali. "Nggak ada apa-apa, Lissa. Jangan mencemaskanku."
Ziddan cemburu, tidak suka dengan ucapan Cikko. Hah yang benar saja? Mencemaskan? Lissa tidak terlihat sedang mencemaskan Cikko. Ziddan mendekat dan melingkarkan lengannya di pundak Lissa. "Istri gue nggak cemasin lo, Cik. Lo jangan besar kepala."
Lissa dan Cikko saling pandang, kemudian mereka tertawa. Sedangkan Ziddan bingung apa yang sebenarnya ditertawakan.
Cikko geleng-geleng, hanya sebuah ucapan saja Ziddan sudah cemburu. Sepertinya Ziddan begitu mencintai Lissa, oh bukan sepertinya lagi, tapi memang kenyataan.
"Lo cemburuan banget jadi suami. Tenang gue nggak bakal rebut istri lo," kata Cikko sambil mengedip genit ke Lissa.
Ziddan melihat kedipan itu. Ia menarik kepala Lissa agar bersandar di dadanya. "Ngapain lo kedip-kedip gitu?"
"Mata gue gatel!!" Cikko mengucek mata.
Cikko mengambil remot tv di meja depan. Jika ia tidak mengalihkan perhatian atau pembicaraan sampai nanti kecemburuan Ziddan tidak akan pernah berakhir.
Sepertinya pilihan Cikko salah karena tv menayangkan acara lamaran. Ia melihat si lelaki sedang berlutut sambil membawa cincin. Tanpa diminta pikirannya mulai membayangkan jika ia mengalami hal itu. Kapan hal itu terjadi kepadanya? Ia meminta seorang wanita agar menjadi teman hidupnya. Cikko tersenyum miris, ia saja belum bisa move on dari Lissa. Bagaimana mau mendapat teman hidup?
"Lo pengen kayak gitu, ya?"
Cikko menoleh mendapati Ziddan sedang menatap layar televisi. Kemudian pandangannya turun ke Lissa, wanita itu sudah terlelap dalam pelukan Ziddan. Cikko juga ingin seperti itu, akan ada seseorang yang bersandar nyaman di dadanya.
"Cikko!"
"Eh iya!" Cikko tergagap. Ia kembali menatap televisi sambil berusaha fokus. "Jelas pengen lah. Sepertinya itu bakal jadi impian lelaki. Melamar pasangannya."
Ziddan mengusap rambut Lissa. Ia beruntung memiliki istri yang sabar dan mencintainya. Jika tidak ada Lissa, mungkin sampai saat ini ia masih betah dengan hidup sendiri dan hidup bersama dendamnya.
"Nggak ada yang dekat atau apa gitu?"
Cikko tahu maksud pertanyaan Ziddan. Sampai saat ini ia tidak pernah dekat dengan wanita manapun. Wanita terakhir yang dekat dengannya adalah wanita yang saat ini sedang terlelap di pelukan Ziddan. "Belum nemu yang cocok."
Ziddan membenarkan posisi duduknya, sekarang ia bisa melihat raut Cikko. Sahabatnya itu sedang berusaha fokus dengan acara di tv, terlihat jelas di mata Ziddan.
"Karena nyari pasangan itu bukan tentang cocok atau tidak. Tapi bagaimana kita dapat saling menghargai dari ketidakcocokan itu," kata Ziddan bijak.
Cikko tertawa. Sejak kapan Ziddan menjadi pakar cinta seperti ini? "Ada-ada aja lo. Udah ah gue balik dulu."
***
Sepulang dari rumah Ziddan, Cikko tidak langsung kembali ke apartemen. Ia justru duduk di sebuah halte yang hampir roboh. Mengingat halte membuatnya ingat dengan Lissa. Dulu ia pernah mencium sudut bibir Lissa di sini. Cikko menunuduk, tidak tahu kapan ini semua berakhir. Ia tidak bisa terus memimpikan Lissa sebagai pendampingnya. Itu mustahil.
"Tuhan! Kenapa perasaan ini masih besar untuknya," gumam Cikko.
Cikko mengeratkan jaket saat angin berembus kencang. Ia terbayang saat tubuh Lissa menggigil kedinginan. Ia datang bak seorang pahlawan, memberikan jaket dan menenangkan Lissa. Ia ingat saat tiba-tiba petir menyambar. Saat itu Lissa langsung memeluknya erat. Ia senang dengan kejadian itu kejadian yang sampai saat ini belum bisa ia lupakan.
"Andai Lissa ada dua." Kemudian Cikko terkekeh geli menginginkan hal itu. Ia tidak bisa membayangkan jika istrinya dan istri Ziddan serupa.
Cikko memejamkan mata, rasa sesak itu kembali menghimpit dadanya. Apalagi jika bukan sesak karena menahan sakit. Ia sakit karena tidak bisa melupakan Lissa. Rasa cintanya ke Lissa sangatlah besar hingga ia sulit melupakannya. Cikko menarik napas panjang kemudian mengembuskannya lewat mulut.
"Aku masih mencintaimu, Lissa."
KAMU SEDANG MEMBACA
How Can I Move On?
Romansa[COMPLETE] "Kak, maukah kau menikah denganku?" Apa yang terjadi jika sedang makan siang tiba-tiba ada yang mengucapkan kalimat itu? Apakah kamu akan menerima? Atau malah tertawa? Itulah yang dialami oleh Cikko Herdianto, lelaki yang selama ini belum...