Delapan-Telat

3.1K 250 5
                                    

"Dia siapa Cikko?"

Cikko berjalan mendekat, menarik tangan Lissa lalu mendudukkan wanita itu di kursi. Ia kemudian menarik kursi di hadapan Lissa. Cikko menarik napas panjang, bingung harus menceritakan dari awal atau tidak. Tapi jika ia cerita ia takut Lissa mentertawakannya. "Pembantu."

"Hahaha. Kamu bilang apa? Pembantu? Aku nggak percaya itu, Cikko. Kamu kira aku sepolos dulu?" Lissa geleng-geleng. Mana mungkin ia percaya.

"Tapi memang seperti itu, Lissa," kata Cikko sambil mengacak rambutnya frustrasi. Ia bingung harus menjelaskan bagaimana ke Lissa.

"Jadi dia siapa?" tanya Lissa lagi.

Cikko mengalihkan pandang. Ia harus menjelaskan bagaimana lagi? Cikko melirik Lissa. Terlihat jelas raut wanita itu sangat penasaran soal siapa Mora sebenarnya. "Pembantu. Dia pembantu, itu memang benar."

Lissa tertawa. Bisa-bisanya Cikko menjawab gadis tadi adalah pembantu. Ia menatap Cikko menyelidik. Lissa tidak akan percaya begitu saja. Ia tidak seperti Lissa yang dulu yang gampang percaya. "Aku nggak percaya, Cikko."

"Ya sudah kalau kamu nggak percaya." jawab Cikko pasrah kemudian berdiri. Ia berjalan keluar dapur kembali ke tempat semula. Ia mengernyit saat masuk ke ruang tengah dan tidak menemukan Mora di sana. "Sudah pergi dia."

Lissa menarik napas panjang. Ia berdiri lalu mencari keberadaan Cikko. "Cikko. Kalau dia pembantumu bagaimana ceritanya?" tanyanya masih penasaran.

Lissa duduk di sebelah Cikko menatap lelaki yang fokus dengan tv di depannya itu. Lissa merebut remot tv kemudian mematikannya.

"Ceritanya panjang, Lis. Aku nggak bisa ceritain ini ke kamu," jawab Cikko lelah.

Cikko melirik Lissa yang cemberut. Setiap kali Lissa sedang cemberut atau merajuk ia selalu gemas. Ralat, apapun yang ada di diri Lissa selalu membuat Cikko gemas. Rasanya, ia ingin menarik Lissa ke dalam pelukan dan mencium bibir yang sedang cemberut itu.

Kepala Cikko kemudian menggeleng-geleng. Apa yang ia pikirkan? Kenapa pikirannya begitu liar? Cikko mengalihkan pandang daripada pikiran liarnya teralisasikan.

Kening Lissa mengernyit melihat Cikko yang menggelengkan kepala itu. Lissa menatap Cikko lebih dalam. Apa yang terjadi dengan Cikko? Kenapa terlihat aneh? Mulut Lissa terbuka, hendak melayangkan pertanyaan lagi mengenai gadis tadi. "Cikko gadis tadi...."

Teett!

Belum sempat ucapan Lissa selesai suara bel lebih dulu menyelanya. Cikko menoleh ke arahnya, Lissa menggerakkan bola mata ke arah pintu. Memberi kode agar Cikko segera membuka pintu apartemennya.

Cikko menarik napas panjang lalu berjalan ke pintu. Ia menggeram saat suara bel itu masih saja berbunyi. Benar-benar tidak sabaran. Cikko membuka pintu dan menariknya kencang. Ia memaklumi saat tahu siapa yang memencet bel dengan tidak sabaran itu.

"Istriku ada di sini?" Ziddan berdiri di depan pintu dan tersenyum lebar saat melihat sahabatnya membuka pintu dengan tampang kesal. Sudah pasti sahabatnya itu marah karena ia memencet bel dengan tidak sabaran. Ziddan mengintip ke dalam. Ia tersenyum lega saat melihat istrinya sedang berjalan ke arahnya.

Mendengar suara suaminya, Lissa langsung berdiri dan berjalan menghampiri suaminya. "Lama sekali," ujarnya dengan nada manja.

Cikko melihat Lissa berjalan menghampiri Ziddan. Ia bersandar di pintu memperhatikan suami istri itu yang seperti lama tidak berjumpa itu. Cikko melihat tangan Lissa melingkar ke lengan Ziddan. Ia tersenyum tipis. Hatinya langsung merasakan nyeri setiap melihat adegan itu. Perasaan iri itu masih ada. "Masuk dulu yuk!" ajaknya menginterupsi.

Cikko melangkah masuk. Ia memejamkan mata, menata hatinya agar tidak sakit melihat orang yang masih dicintainya itu. Lalu Cikko memilih duduk di sofa pojok.

Ziddan menunduk menarik Lissa masuk ke apartemen Cikko. Tangannya membimbing istrinya agar duduk di sofa panjang lalu melirik Cikko yang duduk di sofa pojok. Ia melihat Cikko tampak sibuk mengalihkan pandangan. Lalu pandangan Ziddan beralih ke istrinya yang sedang menatapnya lembut. Ziddan menggelengkan kepalanya saat mendengar bisikan dari hatinya.

Sahabatmu masih mencintai istrimu.

Lissa menarik tangan Ziddan saat lelaki itu tidak kunjung duduk. Ia terkikik geli saat Ziddan tersentak kaget lalu terjatuh duduk di sebelahnya. "Kenapa lama sekali?"

"Masa lama? Kamu aja kali yang terlalu kangen," jawab Ziddan menggoda.

Pandangan Ziddan beralih ke Cikko yang tampak mengeraskan rahang itu. Lalu pandangan Ziddan tertuju ke hidung Cikko yang tampak memerah dan bengkak. "Lo sakit apa sih sebenernya? Sampai izin gak masuk?"

Mendengar pertanyaan itu, mau tidak mau Cikko menoleh ke arah suami istri itu. Ia mengubah raut wajahnya agar terlihat biasa saja. Cikko memaksakan sebuah senyuman lalu menggeleng. "Hanya insiden kecil."

"Kalau insiden kecil kenapa sampai nggak masuk kerja?" tanya Ziddan tajam.

Lissa mendengar, mengusap lengan suaminya. Memberi kode agar suaminya tidak berucap tajam seperti tadi.

Usapan Lissa mampu membuat emosi Ziddan yang hampir tersulut segera mereda. Entahlah, ia sangat terganggu dengan bisik kata hatinya tadi.

"Ada masalah sama hidung gue," jawab Cikko singkat.

Lissa melirik jam di sudut ruangan. Ia kemudian teringat sesuatu. Lissa segera berdiri lalu menarik tangan Ziddan. "Mas kita telat."

"Emang kalian mau pergi ke mana?" tanya Cikko.

Cikko dan Ziddan menatap Lissa yang berubah panik itu. Cikko bingung dengan aksi Lissa. Sedangkan Ziddan, saat pandangannya tertuju ke jam dinding ia baru sadar dirinya ada janji.

"Ke dokter," jawab Lissa.

"Lissa sakit apa?" tanya Cikko bingung. Ia melihat Lissa sehat-sehat saja.

"Bukan sakit. Tapi telat," jawab Ziddan dengan senyum mengembang. "Berangkat sekarang, Sayang?"

Lissa mengangguk. Pandangannya beralih ke Cikko. "Cikko kamu hutang penjelasan ke aku ya," ucapnya kembali ingat dengan gadis di dapur tadi.

Cikko mengalihkan pandang. Lissa masih saja ingat dengan pertanyaannya tadi.

"Cikko. Aku pulang dulu ya. Ayo, Mas!" pamit Lissa.

"Gue pulang dulu," pamit Ziddan.

Cikko mengangguk sambil menatap pasangan suami istri itu. Lissa telat? Hati Cikko rasanya campur aduk. Ia senang Lissa dan Ziddan akhirnya memiliki keturunan lagi. Tapi ia juga sedih itu artinya mau tidak mau ia harus segera melenyapkan Lissa dari hati dan pikirannya. Ia pantang merebut istri apalagi yang sudah memiliki anak. Tapi untuk melupakan, semua butuh proses bukan?

Cikko berjalan keluar apartemen, melihat Lissa dan Ziddan yang berdiri di depan lift. Terlihat tangan Ziddan memeluk pinggang Lissa posesif. Sedangkan Lissa tampak membisikkan sesuatu yang langsung membuat senyum Ziddan terbit. Hati Cikko bergemuruh. Ia segera masuk, dan menutup pintu.

"Kapan aku seperti mereka?"

How Can I Move On?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang