Mora berkali-kali menggebrak meja, marah karena majikan barunya tadi. Bayangan saat Cikko dan wanita tadi mengobrol membuat Mora semakin sebal. "Gue kesel!"
Fafa dan Tina berpandangan. Daritadi Mora selalu bilang sebal. Fafa menarik dagu Mora agar menghadap ke arahnya. Dia tidak bisa membiarkan Mora marah-marah dan terus menggebrak meja membuat pengunjung kafe menatap ke meja mereka.
"Lo kenapa, sih?" tanya Fafa bingung.
Mora menyentak tangan Fafa dari dagunya. Dia menelungkupkan wajah di atas meja. Mora menarik napas panjang lalu mengembuskan dengan perlahan. Beberapa kali dia melakukan itu hingga emosinya hilang. "Gue sebel sama Kak Cikko."
"Kak Cikko?" tanya Tina dan Fafa bersamaan.
Fafa dan Tina saling pandang. Mereka seolah sedang bertanya 'memang kenapa?' lewat tatapan. Lalu mereka melirik Mora dengan pandangan kasihan.
"Iya Kak Cikko. Majikan gue, lelaki yang dulu gue lamar," jawab Mora.
Tina dan Fafa memandang Mora bingung. Apa mereka tidak salah dengar Mora menyebut lelaki itu 'majikan'? Sepertinya mereka ketinggalan berita.
"Maksud lo majikan?" tanya Fafa.
Mora mengangkat wajah, baru ingat dua temannya belum tahu tentang janjinya ke Cikko. Mora mengangkat bahu acuh tak acuh, enggan menceritakan semua itu. Kesalahan yang awalnya bermula dari kedua temannya. "Pokoknya gitu, deh. Selama sebulan gue jadi pembantu Kak Cikko."
Lagi-lagi Tina dan Fafa berpandangan. Mereka masih bingung kenapa Mora bisa menjadi pembantu Cikko. Tina dan Fafa lalu bertopang dagu, membayangkan wajah tampan Cikko. Beberapa detik membayangkan tiba-tiba mereka bersorak gembira.
"Enak dong ya punya majikan ganteng," kata Tina yang diangguki setuju oleh Fafa.
Mora memutar bola mata, sepertinya salah curhat ke kedua temannya. Bukan membantu malah menghayal yang tidak-tidak. Tina dan Fafa sempat berkata 'enak'. Mora menggeram apanya yang enak menjadi pembantu? Meskipun majikannya tampan.
Tampan tapi menyeramkan.
Tina dan Fafa menarik tangan Mora, hingga gadis itu duduk tegap. Mereka berdua berharap ada sesuatu hal baik yang akan terjadi selama sebulan nanti. Apalagi, jika Cikko dan Mora bisa menjadi sepasang kekasih.
"Gue nggak bisa bayangin kalau jadi pembantu. Duh majikannya aja ganteng kayak gitu," kata Fafa membayangkan jika dirinya berada di posisi Mora.
Mora menjitak kepala Fafa. Memang menjadi pembantu itu gampang? Baru sehari saja sudah banyak hal yang terjadi. "Enak aja. Lo kira jadi pembantu itu enak? Hari pertama aja gue udah nonjok majikan gue," jawabnya keceplosan.
Mora menarik tangannya yang digenggam kedua temannya. Dia segera membekap mulut dan menggeleng. Dalam hati dia merutuki mulutnya yang tidak terfilter.
Tina dan Fafa melotot, bingung dengan ucapan Mora. "Apa maksud lo, Mor?" tanya Fafa bingung.
Mora masih menutup mulut sambil menggeleng tegas, tidak mau menceritakan masalah tadi ke temannya. Dia sudah bisa menebak, temannya pasti akan memarahinya. Dia harus mencari alasan lain. Mora lalu melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan.
"Eh udah jam segini. Gue balik dulu, ya." Mora segera berdiri. Dia cepat-cepat pergi sebelum temannya meminta penjelasan.
"Mora! Jelasin dulu!"
Mora yang mendengar teriakan dari dua temannya hanya melambaikan tangan tanpa menoleh.
Selepas kepergian Mora, Tina dan Fafa masih di tempat. Mereka tertawa cekikikan. Mentertawakan siapa lagi jika bukan Mora. Mereka terbayang wajah Mora yang sebal lalu berubah menjadi salah tingkah saat keceplosan.
"Kayaknya mereka bakal saling jatuh cinta," kata Tina setelah tawanya reda.
Fafa menjentikkan jari tanda setuju. Dia juga berharap mereka akan jatuh cinta. Fafa merasa Cikko cocok untuk Mora, dia juga berharap kehadiran Cikko membuat Mora move on dari Ariel. "Semoga Mora bisa move on."
Tina menegak jus mangga di depannya sambil membayangkan betapa beruntungnya Mora mendapatkan Cikko yang tampan. Bahkan lebih tampan daripada Ariel.
"Uhuk-uhuk!" Tiba-tiba Tina tersedak saat menginggat Ariel. Dia menepuk dada sambil menatap Fafa yang menatapnya khawatir.
"Lo kenapa, sih?" tanya Fafa.
"Gue tiba-tiba aja kepikiran soal taruhan Mora sama Ariel. Semoga saja Mora nggak jadiin Kak Cikko targetnya. Kayak awal ketemu dulu."
Fafa menegakkan tubuh, baru ingat dengan taruhan itu. Fafa menatap Tina bingung.
"Gue juga nggak mau kalau Mora kayak gitu. Kak Cikko pernah nolongin kita. Bayangin aja, kita minta Kak Cikko ngajak Mora kalau Kak Cikko lelaki brengsek dia udah ngapa-ngapain Mora. Tapi apa yang terjadi? Kak Cikko nggak ngapa-ngapain," kata Fafa panjang.
Tina mengangguk. Benar apa yang dikatakan Fafa. Cikko memang baik. "Semoga Mora nggak jadiin Kak Cikko bahan taruhannya sama Ariel."
***
Sesuai perjanjian, malam hari Mora pergi ke apartemen Cikko lagi. Dia sudah sepuluh menit berdiri di depan pintu. Selama sepuluh menit itu yang dia lakukan hanya menggaruk tengkuk, mengusap wajah dan tangannya meremas udara.
Mora bimbang, harus mengetuk pintu di depannya atau tidak. Namun, jika masuk ke apartemen, Mora takut Cikko masih bersama pacarnya. "Ah! Gue harus gimana?"
Balik aja, bisik hati Mora.
Mora manggut-manggut. Diq lebih baik pulang, toh dia juga bukan pembantu yang sesungguhnya. Mora tersenyum lebar lalu berbalik tapi kemudian terdengar pintu apartemen dibuka.
Perlahan Mora berbalik dan menatap Cikko berdiri dengan setelan rapi. Dia memaksakan senyuman. Dalam hati dia merutuki diri sendiri, kenapa tadi tidak segera pulang. "Ka.. kakak."
Cikko mengernyit melihat Mora berdiri di depannya. "Ngapain?"
"Kan, kata kakak aku harus ke sini pagi dan malam."
Ah iya. Cikko lupa. "Gue ada acara. Jadi, sekarang nggak perlu bersih-bersih dulu. Besok aja ke sini."
Bibir Mora melengkung ke bawah. Entah kenapa dia sedih. Apalagi, melihat Cikko yang berpakaian rapi. Pasti mau jalan sama pacarnya.
"Kenapa malah ngelamun?" Tangan Cikko bergerak di depan wajah Mora.
Mora tergagap dan tersenyum masam. "Oke, enak dong nggak kerja. Aku bisa main," jawabnya dengan nada yang dibuat-buat riang.
"Terserah." Cikko mendekat, menepuk puncak kepala Mora dengan lembut. Kemudian berlalu pergi.
Tubuh Mora menegang. Apa yang tadi Cikko lakukan? Mora berbalik, menatap Cikko yang sudah menghilang masuk lift. Tangan Mora terangkat, menyentuh pipinya yang terasa panas.
Mora! Masa lo suka dia sih? pikir Mora.
Mora mengusap-usap puncak kepalanya yang tadi ditepuk Cikko. Kemudian tangannya mengusap pipi. "Fix! Gue sekarang aneh."
KAMU SEDANG MEMBACA
How Can I Move On?
Romance[COMPLETE] "Kak, maukah kau menikah denganku?" Apa yang terjadi jika sedang makan siang tiba-tiba ada yang mengucapkan kalimat itu? Apakah kamu akan menerima? Atau malah tertawa? Itulah yang dialami oleh Cikko Herdianto, lelaki yang selama ini belum...