Empat

639 44 14
                                    

Angin sedang mendengarkan musik melalui headset-nya. Sudah 20 menit yang lalu Vica tak kunjung datang dari kantin untuk membawakan pesanannya.

Angin memang sengaja memilih dikelas saat jam istirahat saat ini karena malu dengan keadaan wajahnya kini yang seperti tak memiliki mata.

Dan tiba-tiba..

"Ikutan dong," ujar seseorang sambil mencopot salah satu headset yang terpasang ditelinga Angin. Ternyata orang tersebut adalah Elang.

Angin menatap Elang sebentar lalu kembali sibuk dengan pikirannya sendiri. Sedangkan Elang, pria itu kini tengah mengganti player lagu yang berada di handphone milik Angin.

"Stop. Jangan diganti lagi, lagu ini aja.." kata Angin mencegah Elang untuk mengganti lagu lagi.

"Lo suka lagu ini?" tanya Elang yang dijawab anggukan pelan oleh Angin. "Virgoun hebat yah, punya lagu yang bikin semua cewek meleleh,"

"Bukannya memeleh, tapi tersentuh." Ralat Angin.

"Ya sama aja," kini mereka kembali terdiam, saling meresapi alunan lagu yang kini tengah tenar. Surat cinta untuk Starla.

Elang berniat untuk mengambil handphone miliknya yang berada disaku celananya, namun tangannya tak sengaja menyenggol lutut Angin.

"Aww.." ringis Angin pelan.

Elang yang mendengar itu langsung mengarahkan pandanganya kearah lutut gadis itu. disana terdapat luka yang cukup besar dan masih basah karena darah yang masih mengalir.

"Kaki lo kenapa?" tanya Elang.

"Kemarin pas jatuh," jawab Angin.

"Gak lo perban gitu?"

"Dirumah gak ada perbannya,"

"Ya belilah, ngarepin ada yang ngasih gitu?"

Angin berdecak kesal. Elang memang seperti ini. Menyebalkan. "Kalo perhatian tuh jangan nanggung-nanggung!"

"Emang siapa yang perhatian? Gue?" Elang menunjuk dirinya sendiri, "ngapain gue perhatian sama cewek bar-bar kaya lo?" Elang pun berdiri dan beranjak pergi keluar kelas. Meninggalkan Angin dengan wajah memerah karena merasa malu atas kepercayaan dirinya tadi.

Elang bukanlah pria sembarangan. Pria itu tak tertebak. Tidak mudah dibaca jalan pikirannya. Benar kata Vica, Elang itu aneh. Tapi justru ini yang membuat Angin semakin menaruh lebih penasaran tentang Elang.

Dan samar-samar, Angin mendengar ada suara Vica dari luar kelas.

"Anggota PMR?" itu suara Vica, Angin tahu betul. Tapi Vica sedang apa diluar sana.

Tiba-tiba ada sekelompok anggota PMR yang masuk ke kelas. Membuat seisi kelas menjadi hening dan memusatkan perhatian mereka kearah anggota PMR tersebut.

"Disini ada yang namanya Angin?" ujar salah satu anggota PMR tersebut.

"Namanya Dita, bukan Angin," sergah Vica hati-hati.

"Maksud saya Angindita," ralat anggota PMR tersebut.

"Gue," Angin pun mengangkat tangannya. "Ada apa ya?"

Anggota PMR tersebut seketika langsung mendekatinya, menarik meja yang menghalangi kaki Angin. Lalu beberapa diantara mereka mulai mengobati luka dilutut Angin dengan telaten. Semua siswa dikelas pun langsung ikut melihat proses kerja para anggota PMR tersebut.

Dan lutut Angin kini sudah terbalut oleh perban.

"Sudah. Kalo begitu tugas kami selesai, kami pergi." Pamit sang ketua PMR.

ELANGINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang