Sembilan

535 43 11
                                    

"Apa maksud kamu Dita? Tolong yang sopan yah kamu!" bentak wali kelasnya itu.

Tetapi Angin tak menghiraukan ucapan gurunya itu. "Siapa yang nyuruh lo kesini?!" semua murid mulai memandang Angin keheranan karena dari ekspresi gadis itu sepeti mengenal murid baru tersebut. Ditambah sepertinya ada sesuatu diantara mereka berdua.

"Angindita!!" bentak kembali wali kelasnya.

"DIEM LO!!"

Semuanya terkejut saat mendengar Angin yang membentak Bu Indah, sang wali kelas. Wajah beliau merah padam karena kelakuan Angin tersebut.

"Lo apa-apaan sih," bisik Elang yang sedikit terkejut juga dengan kebrutalan Angin barusan.

Bahkan kini Vica mulai berkaca-kaca karena takut sahabatnya itu akan kena masalah nantinya. Vica memang tak tahu apa yang sedang terjadi. Namun dirinya yakin bahwa ini bukanlah masalah biasa.

Andini hanya menundukan kepalanya dalam-dalam. Tak berani melihat Angin. Saudara tirinya itu pasti sangat marah sekali padanya.

"Dita, saat jam istirahat nanti saya tunggu kamu diruang BK. Dan untuk kamu Andini, silahkan duduk disebelah Dodo." Dini pun mengangguk lalu berjalan menuju bangku kosong disebelah Dodo yang sedang tersenyum lebar, "baiklah, saya pergi. Kalian harus baik-baik dengan Andini. Ingat Dita, urusan ibu dan kamu belum selesai!"

Angin tak memperdulikan ucapan wali kelasnya itu, ia masih terlalu sibuk dengan emosinya yang belum stabil. Matanya masih menatap bengis kearah Andini yang kini sudah duduk dibangkunya. "Lo budeg hah? Gue nanya siapa yang nyuruh lo kesini?!!" teriak Angin kembali.

Andini menengok, menatap Angin dengan pandangan sedihnya. BRAK. Angin menggebrak mejanya itu. Membuat beberapa anak memekik kaget dengan suara hentakan tangannya yang beradu dengan kayu tersebut.

Tak lama kemudian tanganya ditarik paksa oleh Elang. Pria itu tak tahan dengan sikap brutal Angin saat ini. Dia seperti bukan seorang perempuan. Elang membawa Angin keluar kelas, menuju tempat pembuangan akhir sampah. Dimana tempat tersebut sangat sepi.

"Lepasin gue!!" Angin mencoba melepaskan tarikan tangan Elang tersebut. Dan Elang pun menurutinya. Melepaskan cengkraman tangannya itu. Mereka kini sudah berada di tempat pembuangan akhir sampah. "Ngapain sih bawa-bawa gue kesini?!"

"Lo keterlaluan banget sih hari ini." Ujar Elang cepat. Membuat Angin tersenyum kecut mendengarnya.

Angin mendongak, menatap Elang. "Lo gak tau apa-apa," kata Angin sembari tersenyum miris.

"Gue tau." Sergah pria itu cepat.

Angin tertawa mengejek. "Apa yang lo tau? Lo gak tau apa-apa!" desisnya tegas.

"Andini adalah saudara tiri lo."
Angin melotot tak percaya. Tak menyangka pria didepannya itu mengetahui hal tersebut. "K-kok lo bisa tau..?" tanyanya lemah. Elang mendesah pelan, "bagaimana bisa lo tau hal itu?" cicit Angin pelan. Elang tak tahu harus menjawab apa.

Angin menunduk, membuat Elang semakin tak tega melihatnya. Tetapi ia juga tak berniat memberitahu kepada gadis itu bagaimana ia bisa mengetahui hal tersebut. Elang melangkahkan kakinya mendekat. Membuat rapat tubuhnya dan juga tubuh gadis itu.

Tanganya merangkul Angin. Mendekap gadis itu lembut. Angin terkejut. Matanya membulat sepenuhnya. Perlakuan Elang saat ini sungguh membuat jantungnya terpompa cepat. Hingga darahnya juga ikutan berdesir hebat.

Namun Angin tak memberontak. Dia menikmatinya. Merasakan kehangatan yang luar biasa dari pelukan pria ini. Aroma tubuh Elang pun tercium jelas dihidungnya. Menenangkan. Wajahnya terbenam sepenuhnya pada dada pria itu.

ELANGINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang