Dua Puluh Tiga

517 26 3
                                    

   Angin menatap mobil Elang yang semakin menjauh dimakan jarak dan setelahnya menghilang tak terlihat lagi.

Ia pun kembali menatap Degas yang kini tengah menatapnya.

“Mau berangkat sekarang?” tanya Degas lembut.

Angin pun mengangguk. “Kuy.”

Mereka berdua pun memasuki mobil dan mulai berangkat menuju sekolah.

“Gue kira lo udah berangkat tadi,” ujar Degas membuka obrolan. “tapi syukur deh, lo belum berangkat ternyata.”

“Kok lo tau rumah gue sih?” heran Angin.

Degas pun tertawa sebentar sebelum akhirnya menjelaskan bagaimana bisa dirinya mengetahui rumah Angin.

“Kemarin pas lu balik, gue ikutin lu dari belakang. Ya gue takutnya lu kenapa-napa dijalan. Secara kaki lu dan tangan lu kayak gitu. Jadi, ya gue ikutin deh,”

Angin tak sadar bahwa kemarin ada yang mengikutinya. Mungkin ia terlalu banyak melamun saat mengendarai motornya hingga tak sadar dirinya diikuti.

“Pokoknya, makasih banyak ya atas semuanya..”

“Sama-sama,” Degas pun tersenyum.

“Lu tau, hampir aja gue masuk kedalam mobilnya Elang tadi.”

“Memangnya kenapa kalo lu masuk kemobilnya Elang?” tanya Degas ingin tau.

“Gapapa..”

Degas pun paham dengan respon Angin yang seperti tak ingin menjelskan apa-apa tentang pertanyaannya tadi.

“Oh jadi itu mobilnya Elang?” tanya Degas mencoba mencari obrolan lain.

“Iya,”

“Terus kalo lu gajadi bareng dia berarti dia berangkat sendiri?”

“Dia kesini itu jemput Andini.” Ketus Angin tanpa sadar.

Mendengar hal itu, Degas menginjak rem dengan cepat. Membuat Angin terhempas ke depan dan membentur dashboard mobil. Melihat hal itu Degas panik.

“Dit, lu gapapa?” panik Degas yang melihat Angin mengusap-usap wajahnya yang sakit.

“Lu kenapa ngerem mendadak sih??!”

“Sor-sorry,” decit Degas bersalah. “Ya lagian lu nya juga kenapa ga make sabuk?” bantah Degas yang tak mau sepenuhnya bersalah.

“Malah nyalahin balik!”

“Yaudah iya iya, gue yang salah. Gue minta maaf,”

Angin pun kembali duduk dengan tenang sambil tangannya mengusap-usap kepala nya. Namun ia terkejut saat wajah Degas berada dekat dengan wajahnya.

Degas tengah memasangkan sabuk rupanya. “Biar kagak nyungseb lagi kalo gue ngerem.”

Angin pun hanya diam tak berniat membalas ucapan pria itu. Namun Angin penasaran kenapa Degas tiba-tiba menginjak spontan rem seperti itu.

“Lu tadi ngerem kenapa? Ada kucing lewat?”  tanya Angin.

“Oh itu, gue kaget aja sama ucapan lu tentang Elang yang dating jemput Andini. Andini rumahnya sekitar rumah lu juga?”

Angin pun membuang napas nya. Sepertinya ia harus memceritakan juga kepada Degas. Ia perlu berbagi cerita dengan orang lain.

“Gue sama Andini itu serumah.”

Degas memekik dan melotot. “APA?!”

“Biasa aja kali,”

“Sorry-sorry. Jadi maksudnya kalian seatap?”

ELANGINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang