Dua Puluh Empat

484 25 2
                                    

Angin berlari mengejar sosok Elang. Dirinya tak ingin mengakhiri pertemanan dengan pria itu. Ia masih membutuhkan sosok Elang dalam hari-harinya.

Kakinya yang terasa sakit kembali diabaikannya. Angin hanya ingin menggapai Elang. Hingga tangannya berhasil menggenggam lengan Elang. Membuat pria itu berhenti dari langkah besarnya.

Elang membalikan badannya. Pandangannya datar. Tak berekspresi.

Angin mulai berkaca-kaca. Bibirnya begitu kelu untuk bergerak. Elang melihat akan ada air terjun yang segera turun dari mata Angin.

“Elangg…” parau Angin.

Elang hanya diam.

Melihat Elang tak mengatakan apa-apa, Angin pun semakin ingin menjerit dan menangis. Ia tak menyangka Elang akan sangat jauh berubah sekarang. Pria itu semakin seperti tak peduli padanya.

Angin melepaskan tangannya yang menggenggam lengan Elang. Dan membalikan badannya. Yang ia perlukan sekarang hanya ingin menangis sendirian. Elang sudah tak mau lagi berteman dengannya. Dan yang Angin tau, Elang tak pernah main-main dengan ucapannya.

Kaki Angin pun perlahan melangkah. Meninggalkan sosok Elang yang tengah memandanginnya.

Namun dengan pelan, langkah kaki Elang pun bergerak maju. Memperdekat kembali jarak antara dirinya dan Angin yang berniat pergi.

GREP

Lengan kekar Elang mendekap tubuh Angin. Membuat Angin yang mengetahui hal itu seketika diam mematung. Tangisnya pun seketika berhenti. Ia kaget saat Elang memeluknya dari belakang.

Dengan pelan Elang membalikan badan Angin. Melihat dengan jelas wajah temannya yang basah akibat air mata.

“Lu kenapa nangis?” tanya Elang pelan dan lembut.

Angin masih tak berani menatap mata Elang. Sedari tadi ia hanya menatap dada pria itu, tak berani mendongakan kepalanya.

Tetapi Elang justru mengangkat dagunya. Membuatnya harus bertatapan dengan mata tajam milik pria itu.

Tatapan mata Elang sungguh mengunci tatapan Angin. Mereka hanya saling menatap sekarang. Hingga perlahan kepala Elang semakin turun. Membuat Angin langsung mendadak panik.

‘Gawat, inikan sekolah. Mana mungkin gue cipokan sama Elang disini. Tapi gue juga gabisa nolak kalo iya Elang mau nyium gue sekarang..’ gunam batin Angin.

Angin memilih untuk menutup matanya. Tangannya mengepal keras. Jantungnya pun semakin terpompa kencang.

“Lu ngapain tutup mata, hah?” ujar Elang sambil menoyor kepala Angin. membuat gadis itu terhuyung kebelakang. “ngarep gue cipok?” skakmat Elang. Angin tak bisa menahan rasa malunya.

Angin lupa fakta bahwa Elang tak pernah bersikap serius. Pria itu hanya suka bermain-main dan bercanda dalam situasi apapun. Termasuk padanya saat ini juga.

Ingin sekali Angin memaki pria itu.

  Baginya, mempermainkan emosi nya  adalah hal yang paling merugikan. Tapi Angin tak mau lagi membuat Elang semakin jengah dengan sikapnya.

Mungkin inilah cara Elang agar mencairkan suasana mereka yang sempat canggung dan mencekam.

Dengan cepat Angin pun menonjok perut Elang. Membuat pria itu meringis pelan. Lalu setelahnya Angin tertawa mengejek Elang yang mengelus-elus perutnya.

Tanpa mereka sadari, sepasang bola mata menatap mereka dari balik pohon mangga. Tatapan nya begitu sengit dan marah menyaksikan hal tersebut. Dan seringaian licik pun terpancar dari wajah cantiknya.

ELANGINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang