Dua Puluh Dua

403 30 0
                                    

Angin mulai paham. Dirinya sekarang mengerti bahwa pesona seorang Elang memang sangat dahsyat. Pria itu mampu membuat banyak hati wanita berdesir oleh sosoknya. Seperti ia yang telah tersihir oleh sosok Elang Damis Ardiyo.

Tapi Angin masih harus meyakinkan diri lagi untuk benar-benar jatuh cinta pada Elang. Angin sama sekali tak mengira akan menumbuhkan rasa pada temannya sendiri. Menurut Angin, ini seperti novel remaja yang banyak dibaca olehnya. Kisah antara teman yang terjerat oleh perasaan nyaman.

Tapi masalahnya, Angin mempunyai banyak saingan untuk mendapatkan hati Elang. Dari mulai Andini, saudara tirinya. Neta, kawan barunya, hingga Jessy –si adik kelas yang sangat popular di sekolahnya.

Elang dikelilingi oleh wanita-wanita cantik dalam kesehariannya. Sedangkan Angin sendiri? Ia hanyalah gadis pembuat onar yang rusuh. Bahkan ia tak yakin jika Elang akan mempunyai rasa yang sama seperti dirinya.

“Enggak. Gue gaboleh jatuh cinta sama Elang. Iyah bener, gue harus bisa nendang jauh-jauh rasa gue ke Elang!” tekad Angin yang berujar sambil mengendarai sepeda motornya.

Di sepanjang jalanan menuju rumah, Angin selalu meringis kesakitan akibat luka yang dialaminya. Ia tak menyangka hari ini dirinya akan mendapatkan luka sebanyak ini.

Hingga sesampainya dirumah, Angin langsung bergegas menuju kamarnya. Membiarkan teriakan Stella –mamah tirinya- yang menanyakan Andini, anaknya.

Angin merebahkan dirinya diatas tempat tidur. Hingga kegiatannya itu terhenti saat seseorang membangunkannya. Membuatnya mengucek pelan matanya dan menatap bengis kepada orang tersebut keran telah mengganggunya tidur.

“Dit, makan dulu yuk. Lu udah 3 jam tidur, pasti laper..” ujar Andini.

Angin pun beranjak bangun dari tidurnya. Tanpa mengucapkan apa-apa, ia berdiri dan mengganti seragam olahraganya dengan baju kaos.

Saat akan turun dari tangga, Angin terdiam sejenak. Hingga Andini pun datang dengan merangkulnya.

“Yuk, gue bantu turunnya..” kata Andini dengan senyumannya.

“Gausah,” jawab Angin parau dan lemas.

“Gapapa, daripada ntar lo jatoh kan, bahaya..”

“Lo nyumpahin gue jatoh dari tangga?” ungkap Angin sengit.

Andini pun menggeleng cepat. “Engga kok..” jawabnya sambil menunjukan raut wajah bersalah.

Angin pun segera menuruni tangga. Andini memperhatikan setiap langkan Angin yang menuruni anak tangga tersebut. Bersiap jika Angin oleng, ia siap menangkapnya.

Andini hanya ingin membuktikan kepada Angin, bahwa ia sangat peduli terhadap gadis itu. Andini benar-benar menganggap Angin adalah saudaranya. Dan sebagai seorang kakak –walaupun tiri- sudah kewajiban baginya untuk menjaga Angin.

Suasana makan malam pun berlangsung sedikit tenang. Angin benar-benar kehilangan selera untuk menunjukan rasa bencinya kepada Stella dan Andini. Yang dilakukan hanyalah makan dengan tenang.

“Kamu yakin gaperlu ke rumah sakit, Dita?” tanya Stella.

“Gaperlu.” Jawab Angin dingin.

“Ayah udah tau kronologis kenapa kaki dan tangan kamu bisa luka-luka gitu,” kini Ayah nya yang bersuara.

“Gue yang ceritain ke Ayah tadi,” bisik Andini pelan.

“Kamu itu harus bisa lebih jaga diri, Dita.. kamu kan perempuan, kalo misalnya luka kamu itu membekas gimana?”

Angin pun berdiri dan beranjak pergi. Selera makannya mendadak hilang. Keluarganya terlalu cerewet sekali padanya. Kecerewetan yang seperti dibuat-buat.

ELANGINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang