Unspoken || Windu

24 10 4
                                    


Aku tak menyangka bahwa aku akan mengenakan pakaian yang tidak berwarna-warni. Terlebih dalam suasana menyesakkan seperti malam ini.

Aku menatap diriku didepan cermin. Aku memang tampan, aku tahu itu. Aku tersenyum semanis mungkin saat menatap diriku. Walaupun, aku tahu, senyumku menyiratkan semuanya.

Aku berjalan perlahan menuju balkon, menatap sinar redup rembulan dan merasakan dinginnya malam yang membekukan.

Aku melihat wajahnya—wanita yang kucintai, di lantai bawah. Saat itu juga, senyumku mengembang sempurna. Walaupun, diderai air mata. Dinginnya malam tergantikan dengan rinduku yang memuncak.

Aku segera berlari menuju tangga. Aku tak peduli dengan apapun lagi sekarang. Aku tak peduli orang sekitar yang memanggil nama, aku tak peduli barang terjatuh karena langkah, aku tak peduli lantai licin dan terjatuh karenanya.

Sungguh, aku tak peduli, aku hanya ingin dia. Aku ingin melihat wajahnya, menyampaikan kata-kata dan memeluknya erat. Takkan kubiarkan ia kemana-mana lagi.

Aku terjatuh dengan kepala yang membentur lantai. Sakit sekali, bahkan untuk membuka mata pun tak mampu. Degup jantungku semakin cepat dan darah semakin keluar deras. Tuhan, tolong aku ....

"Bayu ...."

Mataku membuka secara perlahan saat ibu memanggilku, dan dia—wanitaku, telah masuk ke dalam rumah.

Aku berusaha bangkit dengan darah yang menetes dibaju hitamku. Air mata dan keringat bersatu yang mulai mengaburkan semuanya.

Namun, satu hal yang pasti, aku masih dapat melihat wajahnya. Bahkan, saat ia tertidur pun terlihat sangat cantik.

Aku membawa kepala dan badannya kepelukanku. Mengecup keningnya berkali-kali. Takkan kubiarkan ia pergi lagi. Walaupun kenyataannya, ia sudah tak dapat kembali.

"Saya sayang sama kamu! Kamu harus bangun, saya mohon ... saya sayang ... sama, kamu ...," ucapku—terisak dengan keadaan yang masih memeluknya, "kenapa kamu pergi sebelum saya bilang semuanya?!"

Ibu mengusap punggungku pelan. Ia berusaha menjauhkanku dengannya yang ku tolak mentah-mentah. Aku meraung sejadinya, aku tak rela, aku belum siap kehilangan, aku belum siap patah hati karenanya, aku belum siap membiarkannya pergi selamanya, aku belum mengatakan semuanya!

Akhirnya, malam ini aku berhasil memeluknya, dengan baju hitamku dan baju putihnya, wajah sedihku dan wajah pucatnya, dan dengan nyawaku yang masih ada dan nyawanya yang telah tiada.

Dan malam ini juga, aku kehilangan ... semuanya.

====
Penulis : Vivia Windu Faustina
septemberindu

Seleksi EWSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang