Amara-Bab 7

39 6 0
                                    

Masih dengan wajah yang ceria, Amara melangkahkan kaki nya kedalam rumah sambil bersenandung kecil.

Tapi tiba-tiba, pemandangan yang seharusnya tidak dilihat olehnya kini terpampang jelas dan nyata--ayahnya yang masih mengenakan kemeja kerja sedang asyik bermesraan dengan seorang wanita yang tidak di kenalnya.

"AYAH! " panggilnya dengan suara lantang dan sukses membuat pasangan itu tersentak dan saling menjauhkan diri masing-masing.

"A-ra, kamu udah pulang nak? Kenalin ini --"

PLAK!

Suara tamparan keras itu, sukses membuat Prasetyo dengan wanita tadi terkejut dengan aksi Amara yang sangat kurang ajar.

"LO SIAPA?! LO JALANG NYA AYAH? KALO EMANG IYA, LO BISA ANGKAT KAKI SEKARANG DIRUMAH INI DAN JANGAN MUNCUL DALAM KEHIDUPAN GUE DAN AYAH!! " Bentak Amara kepada wanita itu dan sukses membuat Prasetyo menampar Amara sampai terjungkal.

"AMARA! SEJAK KAPAN AYAH KAMU AJARKAN UNTUK BERLAKU KASAR KEPADA ORANG TUA?! " Tanya Prasetyo yang kini mulai kesal kepada tingkah Amara yang menurutnya berubah--ralat sangat berubah.

Amara tertawa miris sejenak sebelum menjawab "Ayah mau tau sejak kapan Ara begini? " ucap Amara sambil maju dan mendekatkan diri nya kepada wanita yang daritadi hanya tertunduk diam menyaksikan anak dan ayah yang kini tengah berdebat. "Sejak Ayah bawa wanita JALANG ini kerumah-dan lupa-akan-bunda! "lanjut Amara dengan penuh penekanan dan makin membuat wanita itu semakin terpojok.

"ARA! Bunda kamu itu udah meninggal! Jadi, Ayah harap kamu bisa ikhlas akan itu. " Ucap Prasetyo sambil memegang kedua bahu Amara dan Amara langsung menepisnya.

"Bunda emang udah meninggal! Amara juga tau itu Ayah! Tapi asal ayah tau, Bunda tetap akan ada di hati Amara dan nggak akan ada yang bisa gantiin posisi Bunda! Dan satu lagi, kalau soal ikhlas, Amara udah ikhlas Ayah.. Tapi, kalau Ayah ingin wanita ini ada dalam kehidupan Amara, Amara nggak akan ikhlas yah--nggak akan pernah ikhlas." Ucap Amara dengan suara parau bersamaan dengan air mata nya yang kini mulai luruh tanpa dia sadari.

Tanpa mau berlama-lama lagi, Amara langsung berlari ke lantai 2--kamarnya tanpa mempedulikan Prasetyo yang memanggilnya dan Bi Suji yang melihatnya dengan tatapan prihatin.

Setelah sampai di kamarnya, Amara langsung mengunci pintu nya dan langsung menenggelamkan wajahnya di boneka tedy seukuran badannya-hadiah terakhir dari Bunda nya.

'Jadi ini kabar gembira yang kedua Ayah? Kenapa Ayah tega ngelakuin ini ke Amara? Ayah, bagi Amara ini adalah kabar yang sangat buruk Ayah. Dan kenapa bagi Ayah Amara akan gembira setelah melihat dan mendengar ini semua? ' teriak Amara yang hanya bisa dikeluarkannya dalam hati sambil menepuk-nepuk dada nya yang terasa sesak karena tidak kuat menampung beban.

Rasanya dia ingin teriak, tapi semuanya sia-sia. Suaranya tercekat dan alhasil yang keluar dari mulutnya hanyalah sesenggukan dan airmata yang mengalir tanpa henti.

Suara telpon yang berdering di atas nakas nya pun hanya dihiraukan dan seolah-olah menjadi backsound nya.

Amara tau yang menelpon itu pasti Kapten basket sekolahnya--Rikko. Hanya dia yang biasanya menelpon terus sampai si pemilik mengangkat teleponnya.

Biasanya kalau begitu Amara selalu senang,dia merasa sangat dipedulikan oleh Rikko--meskipun hanya sebatas lomba basket yang kurang lebih seminggu lagi untuk di perlombakan.

Suara telpon yang berdering kini berakhir dan menyisakan satu pesan.

Rikko Azriel

AMARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang