Hai, selamat datang di diary jomblo yang kedua. Senang bisa berbagi cerita dengan kalian.
Untuk kali ini, aku akan bercerita tentang bagaimana tiba-tiba aku merasa sangat jomblo hidup di dunia ini.
Jadi, aku punya teman—yang tinggal depan rumah—atau bisa juga disebut sahabat, tapi itu menjijikkan. Jadi, kuputuskan untuk menyebutnya teman saja. Namanya ... perlu kusebut? Sebut saja dia Laut. Laut dan aku berteman sejak ... SMP kayaknya. Omong kosong jika aku mengaku tidak pernah punya rasa suka pada Laut. Tapi, hubungan terseksi di dunia adalah pertemanan antara cewek dan cowok, makanya kami berdua memutuskan untuk tidak menjalin hubungan apa-apa selain pertemananan.
Selain itu, aku memiliki kakak lelaki bernama—astaga, aku tidak mau memberitahu namanya—Ibrahim alias Baim. Baim itu orangnya ... jorok, petakilan, not so handsome, dan yang lainnya. Laut dan Baim itu dekat. Mereka sering berduaan main playstation di kamar Laut atau kamar Baim, membuatku mau tidak mau berpikir yang aneh-aneh tentang mereka.
Lalu, ada satu lelaki lagi yang hadir. Namanya Ben. Aku dan Laut mengenalnya lewat sebuah group chat, yang kebetulan Ben berdomisili di kota yang sama dengan kami, hingga jadilah kami bertemu dan menjalin hubungan hingga sekarang ini.
Hari-hariku pasti akan ditemani oleh mereka bertiga, atau paling tidak salah satu dari mereka. Pagi-pagi sekali, Baim pasti akan mengacau di kamarku, lalu menyeretku dari tempat tidur. Siangnya, paling tidak Laut dan Ben datang ke rumahku untuk menghabiskan es krim dan makananku di rumah. Aku kesal, tapi aku sadar rumahku akan terasa sepi tanpa mereka bertiga. Ketika ada mereka bertiga, aku bahkan tidak pernah ingat akan statusku sebagai jomblo 17 tahun jeda tiga bulan. Thanks God.
Lalu, pada suatu hari, ada seekor kelinci—
Salah. Pada suatu hari, Ben memberitahu kami bertiga bahwa dia akan melanjutkan sekolahnya di Surabaya.
"Seriusko mau pergi Surabaya?" tanya Laut.
"Iyo blampek," jawab Ben kesal.
Baim buka suara. "Jauhna. Kenapa tidak di Makassar ko? Satu kampus sama Darlo."
"Pakbalnu Ben, sumpahma," sahutku.
Ben mengacak rambutnya. "Salahku di dunia ini deh."
Percakapan singkat yang berujung Ben tetap berangkat ke Surabaya keesokan harinya. Aku kehilangan seorang pengacau yang juga seorang penghibur.
Ben akhirnya berkuliah di salah satu universitas di Surabaya, aku dan Laut juga sekampus. Ben hanya sesekali menghubungiku via telepon, atau jika sedang sempat, maka dia akan menghubungiku lewat video call. Well, setidaknya aku masih punya Baim dan Laut.
Beberapa minggu setelah perkuliahan berjalan, kabarnya Baim sedang dekat dengan seorang perempuan, teman kelasnya di kampus. Namun, butuh pendekatan yang ekstra besar pada perempuan itu. Jadi, setelah Baim dan perempuan itu menjalin hubungan, Baim sering menghabiskan waktu bersama dengannya.
"Baim, kenapa sibuk sekaliko sama pacarmu kah?" tanyaku dengan nada kesal, marah, jengkel.
"Sirik sekali ini jomblo. Cariko juga pacar makanya," jawabnya dengan wajah songong.
Aku diam dan berpikir lagi, setidaknya masih ada Laut.
Nyatanya, aku salah. Selang lima bulan perkuliahan, Laut ternyata jadian dengan seorang senior angkatan 2014.
Laut akhirnya jadi seperti Baim yang lebih banyak menghabiskan waktu dengan pacarnya. Aku tidak menyalahkan mereka, mereka juga punya kehidupan selain menemaniku setiap hari.
Ben juga seolah ditelan bumi. Tidak ada pesan ataupun telepon masuk darinya, membuatku berpikir Ben juga sudah memiliki tambatan di hati di Surabaya sana.
Baru kali ini aku merasa sangat jomblo di dunia. Tiga idiot yang selalu menemaniku ... hilang.
P.S: Mengandung unsur bahasa rumah penulis diary jomblo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Ayam Salah Gaul
RandomKumpulan absen anak-anak ayam. Di sini tergambar suka, duka, hingga kenyelenahan yang dimiliki masing-masing member.