Chapter 14 (Ending)

2.8K 221 18
                                    

***

Kematian. Suatu hal yang mutlak. Sesuatu tanpa toleransi. Sesuatu yang tidak pernah memandang apakah itu baik atau buruk, apakah itu kaya atau miskin, apakah itu tua atau muda. Kematian akan tetap datang semaunya tanpa pemberitahuan, tanpa tanda maupun sesuatu yang bisa membuat makhluk melakukan sesuatu yang ingin ia lakukan sebelum kematian menjemputnya.

Hal terkejam? Ya, bisa dikatakan kematian adalah hal terkejam, karena membuat seseorang harus terpisah dari orang dan kerabat yang mereka cintai, membuat seseorang harus merasakan kehilangan yang bahkan tidak memiliki obat yang dapat mengembalikan rasa kehilangan itu, membuat seseorang bahkan tidak memiliki semangat untuk melanjutkan hidup yang juga tak kalah kejam dari kematian.

Kematian bahkan meninggalkan ribuan penyesalan, banyak hal-hal yang mungkin belum sempat dilakukan untuk orang yang mereka cintai, hal-hal yang belum sempat mereka katakan, tapi kematian lebih dulu mengambilnya.

Kematian juga menjadi hal yang paling menakutkan. Meski terkadang sulit dipahami, tapi jelas bagaimana semua makhluk takut akan kematian.

Masih sangat jelas dalam benak gadis itu, ketika beberapa minggu yang lalu ia masih sempat melihat sosok itu menangis seorang diri di sudut kecil ruang tengah rumahnya. Dia masih jelas ingat bagaimana sosok itu terisak pilu, menahan semua beban yang mungkin ingin ia tanggung sendiri tanpa melibatkan gadis kecilnya. Dan itu untuk pertama kali setelah bertahun-tahun ia menutup lingkungannya, ia kembali memeluk sosok rentan itu, ikut menangis dalam dekapannya yang hangat serta mencoba saling menyalurkan ketenangan untuk masing-masing.

Seingatnya, sosok itu adalah sosok yang kuat dan tegar yang tak akan meninggalkannya. Ia ingat bagaimana sosok itu selalu berusaha menghibur dan membuatnya tertawa ketika gadis kecilnya menangis, ketika gadis kecilnya terus menjauhi semua orang. Ia jelas ingat bagiamana ia membentak sosok itu karena entah keyakinan darimana, ia merasa semua orang membencinya karena sosok itu. Karena sosok yang telah melahirkannya itu tak mampu memberitahunya siapa laki-laki yang seharusnya ia panggil ayah, dan ia mulai membencinya.

Kilatan kejadian itu masih lekat dalam benaknya, ketika aroma anyir menyeruak dalam inderanya, membuat sekujur tubuhnya seketika terasa lemas dan sulit untuk berdiri. Membuat jantungnya terasa berhenti, saat warna merah pekat itu mengalir membasahi lantai dingin rumahnya, dengan sosok yang sudah terbujur kaku di hadapannya.

Detik itu juga ia sadar, kematian tengah bertamu ke rumahnya. Sekuat mungkin ia menyangkal bahwa apa yang ia lihat adalah salah, tapi pada kenyataannya sosok itu tetap tak bergerak, meski ia sudah berteriak puluhan kali menyerukan panggilan untuknya. Ia sudah puluhan kali menggoncang tubuh itu dalam pangkuannya, membuat warna merah pekat itu menodai hampir seluruh tubuh dan pakaiannya.

‘Ibu! Ibu! Jangan tinggalkan aku!’

Bahkan kata-kata yang sama terus terucap dari bibirnya yang beberapa kali menyecap rasa dari air matanya, yang entah sejak kapan sudah membanjir di kedua pipi tirusnya. Tangannya bergetar mengusap wajah dengan kedua mata yang tertutup rapat itu. Hangat. Tubuh itu masih sangat hangat, menandakan kejadian itu baru saja terjadi.

Dalam hatinya, ia terus meminta pada Tuhan agar membangunkannya dari mimpi buruk itu. Ia sudah lama berhenti berdoa, tapi kali ini ia ingin Tuhan menunjukkan keadilan untuknya. Ia ingin Tuhan menunjukkan bahwa ia lahir tidak hanya untuk ditinggalkan. Setidaknya ia ingin tahu, apakan ia bisa mempercayai Tuhan.

Namun sekuat mungkin ia percaya dengan dirinya, maka semakin kuat kepercayaan itu mengkhianatinya.

Sosok itu tetap bergeming. Gadis itu tahu, tak ada lagi hembusan napas hangat yang terdengar. Tak ada lagi denyut jantung yang terasa menenangkan, ketika ia memeluk sosok itu seperti dulu. Tak ada lagi sentuhan tangan yang lembut yang akan menghapus air matanya. Tak ada lagi yang akan melindunginya.

That GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang