Pierce berbalik dan melihat ke atas. Ia mendapati Cecil yang menatapnya dengan wajah menyeringai, lidahnya menjadi panjang dan air liurnya menetes bersamaan dengan darah menggumpal yang keluar dari bibirnya.
Gadis itu menjilat bagian bibirnya beberapa kali sambil memperhatikan Pierce yang hanya terdiam kaku di tempatnya.
"Pierce, pergi dari sana!" Thomas berteriak kencang.
Teriakan demi teriakan menggema di lorong-lorong sekolah. Sedangkan Pierce masih dibayangi sosok di belakangnya. Pemuda itu berlari sekuat tenaga karena ia sendiri tahu, sosok itu masih mengikutinya. Merayap dan menimbulkan suara seperti kertak gigi yang memantul sana sini.
"Apa Cecil masih mengejar kita?" tanya Thomas dengan napas tersengal-sengal.
"Dia bukan Cecil, aku tidak tahu pasti dengan yang kulihat tadi." ujar Pierce sambil berlari.
"Pintu aula." Thomas tercengang karena pintu aula sedang ditutup paksa oleh beberapa orag.
"Jangan ditutup!" teriak Pierce.
"Tidak..!" suara itu muncul dari dalam aula, mereka yang disana itu terus berusaha menutup pintu aula.
Tepat ketika Pierce dan Thomas sampai, pintu aula sudah tertutup. Mereka berdua mengetuk dan menggedor pintu tapi tidak terbuka, Thomas sampai menendang pintu itu berkali-kali tapi entah kenapa sudah tidak bisa dibuka.
"Arghh!" teriakan datang dari koridor menggema sampai di depan pintu aula.
Suara kertak gigi itu semakin lama semakin kuat, bahkan terasa sudah sangat dekat.
"Pintunya tidak bisa dibuka." ujar Thomas berusaha membuka salah satu pintu kelas.
"Biarkan kami masuk!" teriak Pierce dengan napas tersengal-sengal karena berlarian.
"Tidak bisa, kalian sudah memancing makhluk itu." teriak seseorang dari dalam aula.
"Tolong, biarkan kami masuk!" pinta Thomas putus asa.
"Kita tidak bisa begini, kita harus sembunyi." ujar Pierce mencari-cari tempat yang aman.
Tiba-tiba lampu sekolah padam. Pekikan menggema dimana-mana, kertak gigi dapat terdengar lebih jelas dari telinga mereka. Pierce kemudian menepuk bahu Thomas, ia memberi isyarat agar Thomas mau mengikutinya.
Tidak ada pintu yang terbuka.Tiba-tiba ada yang menarik mereka berdua kebelakang.
"Siapa kau?" Thomas langsung berbalik dan melepaskan pegangan di kemejanya dengan kasar.
"Luna?" Pierce terkejut.
"Ssst!"
Luna memberi isyarat agar mereka berdua diam dan tidak mengeluarkan suara.
"Ada apa?" tanya Thomas yang sama seperti bisikan.
"Tahan napas kalian." ujar Luna.
Mereka bertiga menahan napasnya, bunyi kertak gigi terdengar jelas di depan pintu mereka dan perlahan-lahan menghilang.
"Kenapa menahan napas?" tanya Pierce.
"Karena makhluk itu akan tahu keberadaan kita jika kita bernapas." kata Luna.
"Apa hubunganmu dengan ini Luna?" tanya Pierce menyelidik curiga.
"A-aku...aku..." Luna tergagap-gagap ketika menjawab dan hal itu berhasil meninggalkan kesan curiga dalam diri Pierce.
"Katakan dengan jujur." ujar Thomas yang sepertinya juga merasa curiga.
"Lily, dia...dia sedang membalas dendam."
Sontak hal itu membuat Pierce dan Thomas terkejut, karena Lily sudah meninggal.
"Bagaimana mungkin?" tanya Thomas masih terlihat tidak percaya.
"Seharusnya aku yang bertanya pada kau Pierce, kau yang mengirimkanku paket itu." kata Luna kepada Pierce.
"Paket apa?" tanya Pierce bingung.
"Aku menerima paket darimu, 3 hari yang lalu. Berisi jurnal Lily." ujar Luna.
"Jadi kau berpikir ini ulah Lily, ayolah dia sudah mati, kita sendiri yang dia di pemakaman." kata Thomas.
"Dia memang sudah mati, tapi ada yang ia tinggalkan." kata Luna.
"Darimana kau tahu?" tanya Pierce dengan suara pelan.
"Aku mendengar Mrs. Ann tadi pagi, dia sedang berbicara di telepon... dan itu ada hubungannya dengan Lily."
"Lalu makhluk-makhluk itu?" tanya Pierce "Bagaimana kau bisa tahu kelemahannya?"
"Aku membacanya, ini hanya awalnya saja. Di jurnal Lily, ada kata-kata seperti siswa-siswa berlarian sana-sini dalam keadaan aneh." ujar Luna.
"Aku juga membacanya." ujar Pierce.
"Pierce, berarti kau tahu lebih dariku." kata Luna.
"Itu hanya cerita buatannya." ujar Pierce dengan wajah kusam.
"Tidak, bukan. Itu bukan cerita biasa, Lily selalu bersama jurnalnya itu." kata Luna.
"Lalu bagaimana sekarang?" tanya Thomas.
Tiba-tiba terdengar langkah kaki beriringan di depan pintu mereka, kaki yang terseret-seret dan menimbulkan bunyi decitan yang menyakitkan telinga.
"Disini sangat pengap." kata Thomas sambil menyeka keringat di pelipisnya.
"Tidak ada pilihan, kau tahu itu." ujar Luna.
Luna dengan berani membuka pintu pelan agar tidak menimbulkan suara. Ia mengintip keluar.
Gadis itu membeku ketakutan, Luna melihat hal yang tidak lazim. banyak mata yang mengarah ke pintu mereka, makhluk yang merayap-rayap di lantai dan meninggalkan bunyi decitan. Di kegelapan, mata mereka seakan menyala dan siap menerkam mereka.
Luna ketakutan, dengan jelas ia melihat makhluk-makhluk itu ada disana untuk mereka."Ada apa?" tanya Pierce yang melihat Luna ketika menutup pintu dengan wajah pucat.
"M-mereka sudah tahu kita disini."
==============================
❤💙💚💛💜Gimana ceritanya? Tinggalkan jejak ya, vote dan comment akan sangat berarti.
Ps : kalau ada typo atau kesalahan apapun harap ditandai agar dapat diperbaiki secepat mungkin
Salam kasih
MG
KAMU SEDANG MEMBACA
1440
Mystery / ThrillerGenre: Psychological Thriller "Aku tidak ingin mati." Cecil sangat pucat, tubuhnya bergetar dan tatapan matanya kosong. "Tidak ada yang akan mati." ujar Thomas yang berusaha menenangkan Cecil. "Aku tidak ingin bergantung pada kata mungkin." Bill se...