Aku menali sepatu, menguncir kuda rambut lalu merapikan tepian kaos longgar yang kukenakan pagi ini. Ketika aku sudah merasa nyaman, aku segera memacu langkah. Awalnya pelan hingga menit ke sepuluh, aku menambah laju lariku. Kutapaki jalan sempit menuju kebun teh, udara pagi yang segar selalu menggodaku, setiap aku ada di villa yang ada di Ciater. Lariku berubah jadi langkah kecil lalu berhenti tepat di pohon teh yang belum sempat dipetik pagi ini.
Merentangkan tangan, memenuhi dadaku dengan udara seraya memejamkan mata. Angin membelai pori-pori, membuat ekspektasiku tentang nuansa alam yang ramah semakin lekat dalam ingatan.
Kubuka mata, merunduk sejajar pada pohon teh, kupetik salah satu pucuknya kemudian menghidu aromanya yang khas. Sesungging senyumku terlihat, puas.
"Menikmati pagi?"
Aku menoleh dan mendapati seorang pria berkulit putih bersih dengan rambut hitam berantakan berdiri anggun, ia tampak luwes sekalipun dalam posisi diam.
"Ya. Oh, maksudku selain menikmati pagi, juga menikmati yang ada di sekitarku."
"Termasuk menikmati aku yang ada di depanmu?"
Aku nyaris tertawa namun kuputuskan untuk melempar tatapan geli. "Sangat tak etis kalau kita ngobrol bak teman sejawat, padahal aku belum tahu namamu."
Ia mendekat, tangannya terulur, mataku menangkap jemarinya yang besar dan menawarkan kehangatan. "Antara."
"Antara Jakarta dan Penang?" geli, ingat lagu lawas yang pernah membooming di indonesia di era 80an. Lelaki itu tersenyum hingga matanya melengkung, eyesmilenya sedap dipandang.
"Just Antara." Ia menyahut lagi, tak menyebutkan nama lengkap, kurasa. Kujabat tangannya.
"Jingga."
Sesaat rasa nyaman melingkupiku dari sentuhan ini. Aku sampai terpesona karenanya. Antara buru-buru menarik tangan. "Senang berkenalan denganmu."
Kuanggukan kepalaku.
"Suka aroma teh?" Untunglah Antara segera mengajakku berbicara hal lain.
"Setelah melihatku menghirup aroma teh seperti menghirup aroma kekasih, aku tak yakin bisa berkata 'hai, Antara, aku benci aroma teh' kurasa itu tak masuk akal, 'kan?"
Aku heran denganku, kenapa aku jadi banyak bicara?
"Kupikir, kesukaanmu seperti namamu, seperti sinar kemerahan menjelang maghrib, daun-daun berwarna emas atau..., hujan."
"Uh-oh, itu juga termasuk kesukaanku."
"Wow, ada banyak yang kuketahui dari pertemuan pertama kita."
Aku nyengir dan dibalas senyum ringan yang entah kenapa itu terlihat menggoda. "Seleraku memang pasaran, jangan kaget."
Antara mengangkat tangan kanannya ke udara, seakan menghalauku untuk tak meneruskan cerita konyol yang hendak terlontar. "Tidak, kau istimewa."
"Gombalan pertama kali. Iya?"
"Dan apa itu buruk?" ia menyeringai, separuh merasa penasaran dan separuh lagi kelembutan. Sudut hatiku meradang melihat wajah tampannya.
"Tidak, itu menarik." Sahutku, menertawai tingkahku yang sekarang seperti remaja belasan tahun dilanda asmara.
"Aku pria menarik, begitu?"
Hah? Apa sejelas itu aku mengatakan kalau dia memang menyita perhatianku?
"Baiklah, Jingga, sampai ketemu besok dan... Kamu terlihat seksi dengan ikatan rambutmu atau dengan beberapa keringat di pelipismu. Kuharap, itu bukan keringat dingin karena bertemu denganku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jingga
ChickLitIjinkan aku mendoakanmu sebab hanya dengan doa aku bisa menautkan rinduku yang tak berujung. (Dante. A Xian) // Antara Pada akhirnya, aku mengerti bahwa keluarga adalah kekuatan terbesarku dalam menghadapi masalah. Jadi, wajar jika aku menjadikan ke...