8. Heart Down

35.7K 2.3K 92
                                    

 

                Beberapa cahaya yang lolos dari kusen jendela menyorot dengan sombong. Membuktikan bahwa mereka tak bisa ditahan oleh karya fisik manusia. Sinar matahari sore terus mengirim partikel secara berkesinambungan, tanpa kenal lelah, berbeda dengan suasana kantor yang  mulai lengang. Sebagian besar karyawan sudah pulang. Aku mengamati terakhir kali suasana nutrifood—ruang rapat lesehan—yang sering kujumpai ketika melakukan koordinasi dengan level A. Kuambil napas, menguatkan hati yang tak rela meninggalkan perusahaan ini. Tapi mau bagaimana lagi?

          Aku memutuskan untuk keluar melalui tangga agar aku bisa mengingat detil-detil tiap koridor dan sentuhan minimalis yang elegan di bangunan nutrifood ini. Dinding berwarna putih bersih dan keramik senada, beberapa tumbuhan dari suku pinang-pinangan—hijau yang teduh—lalu ruang-ruang kantor yang pintunya terbuat dari kayu mahoni diberi warna cokelat dan dipelitur. Menambah kesan natural di dalamnya.

          “Jingga!”

          Aku menoleh. Chaca berdiri di ujung tangga lantai 2. Ia berkacak pinggang dan matanya gemas melihatku. Alisku bertaut sejenak kemudian kuputuskan untuk menghampirinya.

          “Ada apa? Kamu belum pulang?” tanyaku, mencengkram tali tas sedikit kuat karena melihat Antara keluar dari lift. Ia menjinjing tas dan melihat kami tanpa menyapa. Kutelan ludahku kuat-kuat karena ada yang menyumbat kerongkongan.

          “Kita habiskan semalam saja untuk bersama setelah ini kami tak akan bertemu kamu lagi.” ia menampilkan puppy eyes dan menurunkan tangannya hingga sejajar di pinggang.

          Aku hendak menolak karena ingin segera bertemu ibu, namun semua terhenti karena Chaca meraih tanganku untuk bergabung dengan teman-temanku yang ada di parkiran. Ada Dion, Yuna, Laras, Rangga dan… Antara? Ototku terasa kaku untuk digerakkan. Aku sangat bersyukur karena Chaca menarikku sedikit kuat, membuat otakku yang beku perlahan-lahan mencair dan bisa difungsikan lagi.

          “Nah, kita berangkat!” Dion melirikku sambil memberi senyum penuh arti. Kurasa ia adalah dalang di balik sandiwara ini semua. Ia mengajak Antara juga. Gila saja!

          “Mau kemana?” aku mencoba bertanya sebelum masuk dalam mobil mereka. “Dan mobilku—”

          “Aku sudah menitip pesan pada Mang Husen, kamu pulang, mobilmu juga pulang. Jadi mana kunci mobilmu?” Dion benar-benar sialan. Dia pasti merencanakan ini semua, tapi apa tujuannya? Apa motifnya? Kenapa dia mau melakukan ini? Oh, kepalaku jadi pusing karena sibuk menduga-duga.

          “Mana?” Dion mengulurkan tangan.

          “Aku tak bisa. Ibuku—” aku berhenti, menggigit bibir bawah. Aku tak mungkin menceritakan keadaan ibuku pada mereka, “aku harus pulang, ibuku sendirian di apartemen,” jelasku dengan nada kaku. Antara diam saja, cenderung tak menganggap keberadaanku atau protes-protes yang kulancarkan pada Dion. Ia malah menyandar di mobilnya dan sibuk bermain gadget.

          “Ibumu bukan bayi atau pikun, Jingga. Jadi, ikut kami, tak selamanya kita bisa kongkow bersama. Rangga bahkan sampai ijin pada istrinya.” Laras menengahi, “aku juga meminta putriku untuk tak menungguku pulang untuk dirimu.”

          “Oh ya, apa aku sudah bilang kalau aku pernah punya tim yang sial?” kuusap dahiku, menatap Laras dan Rangga dengan kesal, “kalian menggunakan orang yang kalian cintai sebagai pembanding!” aku merutuki ketakmampuanku mendebat, “oke, aku ikut. Puas kalian?”

          Kecuali Antara, semua tertawa dan mereka langsung menyurukkan tubuhku dalam mobil setelah kulempar kunci mobil pada Dion. Aku mendengus kesal dan memperbaiki duduk. Saat aku sudah nyaman dengan posisiku, aku nyaris jatuh lemas di kolong jok karena Antara didorong masuk. Nah, sekarang dia duduk tepat di sampingku. Sekelilingku terasa hening, satu-satunya yang terdengar adalah detak jantungku dan suara ludah yang kutelan dengan susah payah.

JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang