Semua terasa hambar, melihat tanpa bukti, meyakini sesuatu yang sayangnya hanya bisa dipikir secara rasional saja. Sama seperti sebuah kebenaran. Sehebat apapun daya nalar seseorang, tanpa bukti tak akan bisa diakui, bagai matahari yang bersembunyi di pinggang bukit. Semu diantara kenyataan yang ada.
Akhirnya, mengerti sudah aku. Sekalipun yang kualami adalah fakta di lapangan, ada beberapa orang yang memburamkannya. Entah dengan maksud apa. Sungguh, aku tak mengerti apa alasan mereka melakukannya. Kesimpulan seperti ini kudapat setelah masalah peledakan mobil yang membuat ibu masih dirawat intensif dan koma selama 3 hari. Tak habis pikir, salah satu orang papa sudah dikerahkan untuk menyelidiki Menara Saidah telah mengumpulkan bukti berupa rangka mobil yang legam, beberapa pecahan sisa bom, nopol mobil yang meledak itu hingga mencatat kronologi ceritaku.
Anehnya, dalam waktu kurang dari 24 jam setelah kasus dilaporkan ke pihak kepolisian. Maria dipanggil keesokannya. Yang membuat hatiku meradang, Maria memiliki alibi kuat. Ia sedang ada di toko elektronik mengembalikan barang beliannya yang rusak. Aku sangat yakin bahwa ada bagian penting yang salah. Terutama alibi keberadaannya. Sayangnya, aku bisa apa?
Maria bahkan membawa bukti berupa struk pembelian pada saat mobil meledak oleh kasir toko. Melawan ular, harus berusaha memahami karakter ular. Jika dia berbisa, aku bisa menyewa bisa sejenis, kan?
Aha! Ide bagus.
Aku bangkit dari kursi hendak menemui Sandra yang ada di ruang rawat di lantai 4. Setelah melepas pakaian steril, sarung tangan karet dan penutup kepala, aku keluar dari ruang rawat mama. Tak kurang lima menit aku sudah ada di depan pintu. Tanganku segera mengungkit daun pintu dan saat itu kulihat Antara duduk di ranjang. Kepala Sandra berada di pahanya, tangan kanan Antara mengusap ubun-ubun adiknya sambil bersenandung kecil. Mata Antara terfokus padaku. Rasanya, jutaan es batu seperti diletakkan di samping kanan-kiriku untuk memendamku. Mata cokelat itu hangat tapi berhasil membuatku menggigil di antara kehangatan yang ditawarkannya. Sejenak, aku berhenti dan mencoba menahan lutut agar tak bergetar.
Aku selalu merasa konyol dengan hal ini. Bayangkan, aku sering bertemu Antara, menciumnya, memeluknya namun saat kami bertatapan tetap tak bisa menyembuhkan rasa aneh yang menghentak-hentak dalam diriku. Jika benar ini adalah cinta, tentu cinta adalah sesuatu yang ganjil.
"Apa aku mengganggu?"
Ia masih diam, sibuk memberiku tatapan panah yang dilesatkan menuju indrawiku.
"Ada yang aneh?" aku berucap lagi. rasanya aku ingin tenggelam saja ke samudra agar tak tenggelam di matanya yang seperti tanah basah, menenangkan dan yah tentu saja, membuatku menggigil. Berenang dengan lumba-lumba dan paus sekalipun terasa lebih mudah ketimbang berdiri di sini, dengan sikap Antara yang teguh seperti karang. Misterius, dingin dan membuatku penasaran.
"Duduklah," Antara mengangkat kepala Sandra dan merebahkannya di bantal. Dinaikkannya selimut hingga sebatas leher Sandra. Baru setelah itu, ia kembali menatapku. Masih dengan mata musim dingin yang bercampur dengan musim gugur. Aku yang masih berusaha menguasai diri segera menuju sofa dan tanpa kuduga, Antara langsung membalik tubuhku.
Bibirnya seperti helaian sutra yang disusun dengan bahan dasar madu. Lembut dan manis di permukaan bibirku. Hanya sebentar rasa itu menyerang sarafku karena di menit berikutnya rasa panas membakar merambat konstan menuju pusat tubuh. Tulang belakangku seperti digelitiki disertai rasa melayang. Entah berapa lama kami berciuman, aku sudah tak peduli. Yang penting bagiku adalah tak ada kepuasaan saat menyesap bibirnya. Kuturuti rasa haus yang menggelora, kami saling memeluk dan Antara menurunkan bibirnya menuju leherku. Lidahnya terasa kasar menari di atas kulitku. Kucengkram bahunya ketika ia menghisap kulit leherku. Belum sempat akalku kembali, Antara mengecup lembut dan berdiri tegak. Ia masih memelukku namun berusaha menjauhkan tubuhnya dariku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jingga
ChickLitIjinkan aku mendoakanmu sebab hanya dengan doa aku bisa menautkan rinduku yang tak berujung. (Dante. A Xian) // Antara Pada akhirnya, aku mengerti bahwa keluarga adalah kekuatan terbesarku dalam menghadapi masalah. Jadi, wajar jika aku menjadikan ke...