Aku berhenti di basement menara saidah. Menara yang tak pernah digunakan sejak beberapa tahun lalu dan terlihat seram. Setelah memutarinya, aku baru melihat Maria di dekat tangga. Mobilnya ada di sisi kanannya sejauh 10 m. setelah memastikan keadaan lengang, aku bergegas keluar dari mobil. Tanpa ragu kuhampiri Maria, wanita itu berdiri dan menatapku tanpa kedip. Bibirnya tertarik ke atas, kentara sekali sedang meremehkanku.
"Kau membuatku menunggu," katanya ketika kami berjarak beberapa depa, "tidak bisakah kau menghargai waktu yang sudah kuluangkan?"
Aku hanya melihatnya tanpa berniat menyahut karena jika aku merespon ucapannya, bukan hanya mulutku yang berbicara. Bisa jadi, alat gerakku melakukan hal yang sudah sangat kuinginkan sedari tadi; menghajarnya.
"Kenapa? Kau terlihat menakutkan sekali...." Maria begitu santai, matanya mengedip dan bibirnya masih membingkai senyum.
"Di mana Sandra? Jangan sok berbasa-basi, hubungan kita tak sebaik itu." Balasku, aku mengamati tiap ekspresi mencurigakan Maria. Dia terlalu munafik sehingga aku tak bisa menebak apa ia tengah jujur atau mengibuliku.
"Bukankah kau punya hubungan dengan Antara? Yah, walau dia hanya memanfaatkanmu." Lanjutnya membuat gigi gerahamku merapat.
"Memang apa urusanmu? Bukankah Sandra anak tirimu, tapi kau sendiri memanfaatkannya. Jangan buat standar ganda yang bisa membuatku muntah di depanmu." Aku berbicara tanpa menghiraukan fakta bahwa dia lebih tua dariku dimana aku harus punya sikap menghormati. Aku bukan tipe penjilat, yang akan menyanjung orang jika ada mau atau pura-pura manis.
"Langsung saja pada inti barter kita," sergah Maria, senyumnya Nampak bengis. Aku bisa merasai dua lututku bergetar karena auranya yang mengerikan. Melewati waktu bersama Maria seperti menikmati adegan horror di film-film pembunuhan. "Mana rekaman itu?"
Kukepalkan tangan agar tak terlihat gemetar, mengambil napas panjang-panjang karena paru-paruku mendadak sesak, "ini," kuacungkan handphone Mandala dan mencoba tersenyum kecil, "di mana Sandra?"
Maria mencoba meraih handphone yang kupegang, namun keburu kuayunkan dan ia hanya bisa menangkap udara, "sudah kubilang, mana Sandra?"
Wanita itu mendengus sinis, telunjuknya mengacung ke arah utara dan Sandra terborgol di besi tangga, mulutnya dilakban, hanya matanya yang mengajakku berkomunikasi. Meski tak terlalu jelas apa maksud tatapannya.
"Kau memborgolnya?" desisku tak percaya. "Apa yang kaurencanakan?"
"Agar kau tak mempermainkan kesepakatan kita," Maria tertawa pelan dan pendek sebelum mulai berbicara lagi, "buktikan bahwa rekaman itu ada di handphone itu."
Bibirku mau tak mau tertarik ke atas, aku menggeleng sejenak hingga kuputuskan untuk memutar rekaman, "puas?" tanyaku setelah selesai memutar sepertiga dari rekaman. Alis Maria bergerak ke atas sementara cuping hidungnya mengecil.
"Kunci borgol ada di dalam mobil," jelasnya sambil memasang wajah keras. Aku mengernyit. Timbul banyak pertanyaan dalam benakku. Kenapa diletakkan dalam mobil? Kenapa tidak dia kantongi? Terlebih, apa yang tengah iarencanakan?
"Lempar handphone itu ke sini dan aku akan segera pergi," lanjutnya dan membuat keraguanku makin membesar.
"Bagaimana aku bisa tahu kalau kau memang meletakkan kuncinya di sana?" aku meradang melihat mobil ada di bagian kanan basement. Itu mobil siapa?
"Coba buktikan kalau kau tak percaya. Kuletakkan kunci itu di kursi pengemudi," nada Maria terasa melunak. Aku mundur dan mengintip keberadaan kunci seperti yang dijelaskan Maria. Tepat seperti yang iakatakan. Kunci itu tergeletak di kursi pengemudi, napasku yang semula berat kini lega.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jingga
ChickLitIjinkan aku mendoakanmu sebab hanya dengan doa aku bisa menautkan rinduku yang tak berujung. (Dante. A Xian) // Antara Pada akhirnya, aku mengerti bahwa keluarga adalah kekuatan terbesarku dalam menghadapi masalah. Jadi, wajar jika aku menjadikan ke...