9. Oportunia

37.1K 2.3K 72
                                    

Aku terbangun dan mendapati diriku berada di atas ranjang. Sebuah jari hangat mendekap tangan kananku. Kusesuaikan pupilku menerima cahaya matahari. Dan begitu alam sadarku kembali, aku tahu siapa yang bersamaku.

"Papa?"

Ia tersenyum lemah, "senang mendengarmu memanggilku Papa lagi." tangannya terlepas meraih kertas di atas nakas dan menyerahkannya padaku. "Ini yang selalu kau tanyakan."

Aku yang belum mengerti segera mengambil kertas yang iaulurkan. Sebuah dokumen sipil: kartu keluarga. Ada nama Papa, Mama dan namaku. Alisku bertaut. "Apa ini?"

"Lihat tahun pembuatannya."

Papa masih menatapku tanpa ekspresi namun itu cukup membuat hatiku nyaman. Kulihat lagi tahun pengesahan kartu keluarga. 1990. 24 tahun lalu? Benarkah? Lalu Kartu Keluarga yang pernah kulihat beberapa waktu lalu?

"Sebelum menikah dengan Mamamu, aku menikahi tantemu, Jingga. Namun, ia mengkhianatiku dengan berselingkuh dengan lelaki lain." Papa menarik napas, kentara sekali bahwa emosi gelap dari masa lalunya belum hilang. Aku duduk menyandar dan Papa meletakkan bantal di bahuku dengan sabar. Ada sesuatu yang hilang dalam diriku kembali lengkap. Aku bisa merasa hatiku yang terasa sejuk dan berbunga-bunga. Tak terasa airmata menetes di pipiku.

"Aku sudah sering membuatmu terluka, Ji." Lanjutnya, disekanya airmataku. Tak hanya itu saja, Papa memelukku dengan erat. Tangisku yang semula tanpa suara kini meledak. Aku sampai tersendat-sendat dan memukul-mukul bahu Papa. "Maafkan aku membuatmu salah paham. Awalnya, kupikir ini akan menjadi lebih baik untuk kita. Kemudian, Mandala menegurku, ia mengatakan bahwa dua kali nyawamu dalam bahaya jadi kuputuskan untuk mengatur segalanya, termasuk memintamu tinggal di luar negeri."

Papa curang, dalam sekejap aku sangat yakin akan semua kasih sayangnya. Aku sangat yakin bahwa ia mencintaiku dengan caranya sendiri dan oh betapa brengseknya aku yang selalu berburuk sangka dan menuduhnya sebagai penjahat.

"Kenapa Papa mau aku pergi dari sini?"

"Beberapa tahun lalu, ketua partai membuat wacana tentang pencalonan Papa sebagai presiden. Lalu mandat itu turun beberapa bulan lalu. Papa sangat yakin akan ada kampanye hitam atau pun kampanye negative terutama tentang keluarga kita. Beberapa penasehat Papa meminta untuk membuat Kartu Keluarga lain karena keadaan Mamamu yang tak bisa dikatakan stabil."

"Lalu Papa menuruti nasehat mereka? Papa malu memiliki istri seperti Mama?!" aku melepas pelukannya. Kutatap ia dengan mata tajam dan bengkak.

Papa menggeleng, aku lihat ia juga terluka, sama sepertiku. "Tidak. Kau tahu kenapa aku bisa menikahi Mamamu?"

Aku buta tentang hal ini.

"Itu karena kecelakaan." Kata Papa dengan sedih, "setelah tahu Maria-bibimu-mengkhianatiku, aku mabuk-mabukkan dan ketika pulang, Ilana-Mamamu-menginap di rumah. Aku menimpakan semua kesalahan pada Ilana, memakinya, memarahinya dan aku melakukan itu." Papa menunduk lama sekali. Jantungku seperti terkena kawat berduri yang terasa nyeri. "Aku merenggut keperawanan Mamamu dengan cara biadap dan kasar padahal bukan Mamamu yang menyakitiku."

Aku ingin mati saja daripada mendengar berita ini.

"Aku menceraikan Maria, dan bertanggung jawab atas perbuatanku, namun begitu sampai di rumah kakekmu, aku malah mendapati kakek dan nenekmu meninggal karena bunuh diri dan Mamamu..., sangat terguncang."

"Papa penjahat! Papa tak bermoral!" aku memakinya, berharap rasa sesak yang menghimpitku jadi lega. Namun, aku salah. Rasa sakitnya makin menjadi-jadi. Di tengah-tengah kalapnya aku, Papa segera menarikku dalam pelukannya lagi. Aku sempat mendengar Papa terisak. Ototku tegang, tulang-tulangku langsung tak bisa digerakkan. Papa menangis..., kesadaranku tersentak.

JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang