Antara berjongkok di depan makam, menaburi makam itu dengan bunga dan aku ikut duduk di sisinya. Kusiram makam itu dengan air lalu membiarkan keheningan menyelimuti kami. Keheningan yang begitu dalam. Angin sore membelai rambut, menerbangkannya dan aku terpaksa menyelipkan rambut di belakang telinga.
“Di sini, Mamaku beristirahat, Ji,” matanya menatapku, begitu menghunjam hingga aku berkesimpulan bahwa tatapan Antara sama dengan anak panah. Kugenggam jemarinya agar dia tahu aku ada bersamanya, mau mendengar keluhannya.
“Ma, ini Jingga…,” senyumnya tipis, seolah menertawai tingkahnya sendiri yang masih kekanakan. “Gadis yang sering kuceritakan.”
Antara mengecup punggung tanganku. “Istriku.” Pungkasnya dan itu membuat jantungku berdebar-debar. Dengan canggung aku melihat ke makam, tersenyum seolah aku bisa melihat ibu mertuaku.
“Assalamualaikum, Ma… Semoga Mama baik-baik saja di sana dan terima kasih sudah pernah menjaga Antara. Untukku.” Aku tak kuasa menghindari rasa grogi. Seperti air, aku luruh dalam suasana yang magis. Tak lama kemudian, Antara mengajakku untuk mendoakan almarhum ibunya. Kuikuti ajakannya. Begitu selesai, kami berdiri. Dia berpamitan, akupun begitu.
“Meski aku belum pernah melihatmu, Antara sering menceritakanmu dan aku berjanji, aku akan menjadikan dia sebagai satu-satunya pria yang paling bahagia dan seseorang yang akan selalu mengunjungimu dan mendoakanmu, Ma.” Mataku melirik Antara, dia hanya diam tak tertebak. “Jadi, Ma…, apa Mama merestui hubungan kami?”
Sebuah tangan hangat menempel di puncak kepalaku. Tangan Antara. Dia menepuk-nepuk pelan seolah mengatakan, ‘pasti Jingga, Mamaku merestui kita’ dan perhatiannya yang sederhana ini membuat mataku berkaca-kaca. aku belum lama mengenal Antara, tapi seluruh sisi jiwa Antara seperti mengenalku dan memedulikanku. Senyum Antara lembut, dia meraih tanganku, menautkannya dengan jemarinya yang hangat dan mengajakku keluar dari tempat pemakaman.
Sore itu, aku yakin bahwa aku mencintai lelaki yang benar, lelaki yang tak hanya menyayangiku, juga keluarganya. Kurang sempurna bagaimana Antara itu?
Ketika pikiranku asyik memuji Antara, ponselku berdering. Lulihat id pemanggil. Papa? Aku tadi sudah meminta ijin untuk menemani Antara berziarah ke makam ibunya karena hari ini tepat 4 tahun ibu Antara meninggal. Ada apa Papa menelponku?
“Halo, Pa.”
“Rumah sakit, sekarang.” Begitulah info dari Papa dan aku tak perlu bertanya-tanya, ini pasti berkaitan dengan mamaku.
“Antara, kita kembali ke rumah sakit sekarang.” Pria itu mengiyakan, tak bertanya ada apa. Dan baru-baru ini aku tahu, Antara sangat kooperatif padaku. Bahkan, dia juga memahamiku jauh lebih baik daripada aku memahami diriku sendiri.
***
“Pa!” aku berjalan tergesa-gesa melihat Ayah berdiri di ruang IGD. Begitu mengetahui kedatanganku, Papa langsung menatapku dan napasku tertahan di dada. “Mama?”
“Dalam keadaan kritis.”
Lututku lunglai. Sejak beberapa hari lalu, setelah insiden mobil yang dipasangi bom meledak itu, Mama belum sadarkan diri. Dia koma dan hari ini… keadaannya kembali kritis. Antara menjadi tumpuan bagi tubuhku dan mengajakku untuk duduk. Aku tak berniat meronta dari tubuhnya dan yang bisa kulakukan adalah menangis di dada Antara.
Kenangan terakhir dengan mamaku kembali berputar. Seharusnya, aku tak membiarkan mama membuka pintu mobil. Seharusnya, aku saja yang menggantikan posisi mama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jingga
ChickLitIjinkan aku mendoakanmu sebab hanya dengan doa aku bisa menautkan rinduku yang tak berujung. (Dante. A Xian) // Antara Pada akhirnya, aku mengerti bahwa keluarga adalah kekuatan terbesarku dalam menghadapi masalah. Jadi, wajar jika aku menjadikan ke...