Aku duduk di sofa yang ada di kamar, menghidupkan televisi tapi membiarkan diriku ditonton karena pikiranku lebih memilih untuk melamun daripada melihat ragam sajian hiburan yang ditawarkan oleh benda audio-visual itu.
Hari yang lumayan berat, setelah sepekan berkutat di kantor, menerima sinisme Antara, dan sekarang, dr. Wali memintaku untuk berhenti bekerja. Kejiwaan ibuku mengalami penurunan secara konstan dalam waktu 5 bulan ini semenjak aku bekerja.
Jika aku tak bekerja, bagaimana aku membiayai pengobatan ibu dan tetek bengek lainnya yang tak gratis?
Sejak setahun lalu, aku menolak uang yang dikirim ayah. Itu bukan uang nafkah, itu uang suap sehingga aku jijik menerimanya. Sementara kalau aku berhenti bekerja, dan mencari pekerjaan di sini, tak ada satu pun pekerjaan yang relevan dengan pendidikan strataku padahal kami-aku dan ibu-harus bertahan hidup.
Aku mengelus kening, mencoba menghilangkan beban yang membayangiku. Kuhempaskan bahu, akhir pekan harusnya rileks malah membuatku semakin tertekan. Tak ada tempat untuk berbagi. Aku anak tunggal, beban yang kutanggung begitu berat.
"Non! Non Jingga!" Bi Inah berteriak dari dapur. Aku terkesiap, berdiri dan langsung berlari. Di sana, aku mendapati ibu mengamuk. Dia melempar piring, sendok dan berteriak kesetanan.
Allah....
Dengan langkah pelan dan hati-hati, aku mendekat. Mencoba memegangi pergelangan tangan ibu agar tak melempar benda yang ada di depannya. Aku mengambil napas, mengusap punggung tangannya.
"Mama mau bakso, Jingga! Bakso!" Ibu menatapku dengan gigi bergemelutuk. Aku memeluknya erat, "Bi Inah tak mau membelikan bakso! Ini masih jam 11, masih banyak yang berjualan! Mama benci Bi Inah!" ibu meronta kuat-kuat, tapi aku tak menyerah.
"Tenang, Ma. Jingga belikan, Mama jangan berteriak-teriak begini."
Ibu menggeram, "kamu bela Bi Inah?!" Nadanya meninggi, "kamu anak siapa?"
Aku tak boleh marah, ini ibuku. "Ma, Jingga belikan. Tapi Mama harus tenang, okay?"
Tubuh ibu berhenti meronta, ia memegangi bahuku lalu mundur dua langkah, "benar?"
Kuanggukan kepala, "tunggu. Aku belikan, Ma." Melepas pegangan, aku menatap ibu dan percaya bahwa ia tak akan mengamuk lagi, "Mama tunggu Jingga."
"Iya, Mama tunggu tapi..., Mama nggak mau ada Bi Inah di sini."
Aku mengerut, kutoleh pembantu rumah tangga kami, "Bi Inah tetap di sini, tapi Jingga janji, Bi Inah nggak akan mengganggu Mama. Nah, sekarang Mama ke kamar saja dulu."
Ibu menatap Bi Inah dengan tajam, tidak, dia mengancam Bi Inah sebelum ia melangkah menuju kamar. Aku menarik napas.
"Non, ini sudah malam." Bi Inah menatapku dengan simpati, "aku temani ya?"
"Jangan, Bi Inah temani mama saja, aku takut dia labil lagi dan keluar rumah." Jelasku, aku merapikan kaos yang sempat kusut karena memegangi ibu, "kunci pagar depan ya, Bi."
***
Hampir 3 km aku bersepeda mencari bakso yang biasanya banyak berjejer di pinggir jalan. Namun tak satupun yang kutemukan. Aku sudah ke tempat wisata seperti pemandian air panas Sari Ater, mengelilingi komplek yang ada di sana. Dan hasilnya nihil.
Barulah setelah aku melewati pertigaan di desa Ciater menuju jalan protokol, aku menemukan satu-satunya penjual bakso. Itu pun dia sudah mulai mengemasi gerobaknya. Setelah dibungkus, dan menyerahkan pesananku, aku membayar dengan uang pas. Segera kukayuh sepedaku melewati jalanan yang lengang. Angin malam menerpa tubuh, membuatku bergidik kecil karena dingin menembus sumsum tulang. Aku membelokkan stir sepeda ketika melewati tikungan dan nyaris menabrak beberapa orang yang berjalan sempoyongan. Rem yang kugunakan tak begitu berarti, akhirnya aku membantingnya ke kanan dan langsung mencelat ke semak-semak. Sepedaku berderik menyakitkan.
![](https://img.wattpad.com/cover/14398922-288-k592051.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Jingga
ChickLitIjinkan aku mendoakanmu sebab hanya dengan doa aku bisa menautkan rinduku yang tak berujung. (Dante. A Xian) // Antara Pada akhirnya, aku mengerti bahwa keluarga adalah kekuatan terbesarku dalam menghadapi masalah. Jadi, wajar jika aku menjadikan ke...