“Jingga, apa yang kaulakukan?” suara menginterupsi, Mandala menghampiriku dan mengajakku berdiri. Tubuhku yang lemah hanya mampu menyandarkan diri di dadanya. “Kemana Antara?” ia mengamati sekeliling. Heran karena rumah Antara begitu lengang. Aku menggeleng, tak mampu bicara. Kami duduk di sofa ruang tengah, aku meringkuk dalam pelukan Mandala.
“Kamu ada masalah dengannya?” ia masih penasaran. Sangat, sangat banyak. Batinku lalu memejamkan mata. “Ssst, jangan menangis.” Ia menghapus airmataku dan memberi pelukan lebih erat sambil mengusap puncak kepala. “Ceritakan padaku, mungkin aku bisa membantu?”
Bisakah kau membantu menghapus masa lalu dan menghidupkan orang lagi? Aku menggigit bibir dengan getir. Yang kutunjukkan hanya gelengan. “Mungkin, aku sedang kacau, Kak.” Sahutku, tak enak karena sejak tadi mendiamkannya. “aku tak suka didiamkan Antara.”
“Hanya itu?” ia menaikkan sebelah alis, kentara sekali bahwa ia sedang curiga. Jantungku langsung berdetak kuat, begitu takut kalau Mandala tahu masalahku yang sebenarnya. Aku tak mau dia tahu bahwa Antara baru saja menyuruhku pergi. Tidak hanya meninggalkan rumah ini, juga pergi jauh dari hidupnya. Antara bahkan tak mau melihatku lagi.
“Kalau begitu, cobalah menahan egomu.” Suaranya lembut menenangkan. Aku mengambil napas. Mendengarnya menasehatiku seperti membiarkan seseorang mengiris-iris hatiku jadi potongan dadu. “Dia masih belum mengikhlaskan Sandra. Mungkin, kau bisa menghiburnya atau berbicara dari hati ke hati.”
Dari semua nasehat Mandala, apa yang belum pernah kulakukan? Dan yang kuperoleh hanya ekspresi datar Antara, bibirnya yang terkunci dan yang paling fatal, dia mengusirku. Aku menahan airmata agar tak mengalir lagi seiring dengan dadaku yang sesak. Aku tak mau menangis di depan Mandala. Aku tak mau membebani Mandala karena perasaanku yang hancur.
“Yah, Jingga berusaha, Kak.” Turunkan emosimu, Jingga. Jangan perkeruh suasana di depan Mandala. “bagaimana keadaan Papa?” aku mengalihkan pembahasan dan tersenyum rikuh.
“Semalam aku bertemu dengan Papa, dia masih sibuk menjelang pemilu. Briefing pagi, siang dan malam,” Mandala berhenti, “setelah ini, mungkin aku tak bisa menemuimu lagi dalam waktu tiga hari.”
“Kenapa?”
“Aku akan mengorganisir persiapan di beberapa daerah di Indonesia Timur. Kamu harus jaga diri.” Ia tersenyum. Aku mencoba menampilkan senyum terbaik. Semoga bibirku tak terlihat aneh.
“Kau yang harus jaga diri. Kau baru sembuh,” aku memberinya peringatan agar dia tak hanya mengkhawatirkan aku. Juga dirinya sendiri. “kalau aku dengar kau jatuh sakit, aku akan mengikatmu.”
Mandala tertawa, mengelus rambutku dengan gemas. “Siap, Yang Mulia Gusti Ayu Ndoro Juragan.” Dua mata Mandala membentuk segaris dan giginya yang bersih terlihat.
“Kak!” aku mencubit pinggangnya. Dia bersijingkat dan tergelak bahagia. “Nyebelin!” gerutuku sambil mengerucutkan bibir dan menatapnya sebal.
Tahu-tahu, dia menepuk pipiku dan mencubitnya, “jangan sering menangis.” Ia pun memelukku sekali sebelum pamitan dan pergi.
***
Malam ini aku melihat Antara mabuk. Dia berjalan sempoyongan melewati tangga dipapah sahabatnya, mungkin. Aku tak tahu siapa lelaki yang bersamanya karena Antara tak mengenalkannya. Ia menggeletakkan Antara di kursi ruang tamu dan menatapku dengan pandangan prihatin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jingga
Chick-LitIjinkan aku mendoakanmu sebab hanya dengan doa aku bisa menautkan rinduku yang tak berujung. (Dante. A Xian) // Antara Pada akhirnya, aku mengerti bahwa keluarga adalah kekuatan terbesarku dalam menghadapi masalah. Jadi, wajar jika aku menjadikan ke...