2. Menipu Hati

46.6K 2.9K 77
                                    

Ini sudah ke 10 kalinya aku bertemu Antara dan ia benar-benar seperti apa yang ia ucapkan: tak menganggap keberadaanku. Sebagian hatiku menyukai ini, dengan begitu, aku terbebas dari gosip murahan atau rasa risih ketika ia menatapku. Aku selalu tak kuat hati, jika matanya mengintimidasi, aku merasa seperti binatang buruan yang siap dimangsa.

Namun, sisi hatiku yang picik menertawai rasa tak nyaman yang disebabkan Antara. Tak ada lagi lelaki yang penuh percaya diri mengusikku, merayu dengan kalimat yang aneh seolah dia dengan terbuka bilang begini 'kejar aku, maka kau tahu siapa aku' dan kali ini, aku yakin dia sudah tahu siapa gadis yang coba ia perdaya.

Kuhela napas ketika bunyi ting lift terdengar, itu artinya Antara harus keluar dan seperti seharusnya, ia memang keluar, tanpa mencoba mengobrol, menatapku atau mengatakan ucapan selamat pagi ketika kami bertemu. Padahal aku yakin di lift ini tadi hanya ada aku dan dia, dan aku sangat menjamin bahwa lelaki tadi hanya berdiri kaku, menatap pintu keluar dan benar-benar pergi tanpa sepatah kata pun.

Baiklah, Jingga, kau kenapa? Apa otakmu sudah salah setting? Kau ada di Nutrifood untuk bekerja bukan mengejar Bossmu. Aku mengipasi wajahku yang terasa panas.

Antara membuatku bingung. Di dekatnya, memperoleh perhatian darinya, aku tak nyaman dan sekarang saat dia mendiamkanku, rasa sesaknya luar biasa.

"Hai, Jingga, kebetulan sekali. Ada briefing besok pagi, kau diminta menyampaikan analisis keaktifan karyawan yang ada di divisi perencanaan," Dion menghancurkan lamunanku, aku baru sadar kalau lift sudah terbuka dan aku malah melamun. Kebiasaan buruk.

"Pak Antara sudah menunggumu menyampaikan laporan. Jadi, kupikir, kau harus bersegera." Dion masuk ke ruangan; tak lagi berdiri di ujung lift seperti seorang atasan menemui bawahannya yang mengalami salah fokus.

Aku buru-buru menuju ruang kerja, yang dihuni 3 orang, aku, Dion dan Sarah. Kuambil data di map warna biru dan menuju lift lagi untuk menemui Antara.

***

Antara mengamati grafik yang kubuat, keningnya berkerut lalu menatapku. Sebuah tatapan yang memberikan arti atasan-bawahan dengan sengaja. Seolah dari caranya menatapku aku mendapat peringatan keras. Aku mengingat-ingat, apa aku mencoba mengejarnya? Sepertinya tidak.

"Ini data yang kaukumpulkan seminggu ini?"

"Benar."

"Mana pembandingnya?"

"Ada di halaman kedua, grafik di halaman kedua adalah perbandingan kinerja seminggu sebelumnya."

"Hasil yang cukup signifikan membuat saham perusahaan mengalami penurunan." Antara menatap tajam, rahangnya begitu tegas dan kaku, membuatku tahu kalau ia terbebani dengan kinerja menurun dari bagian perencanaan, "apa masukanmu?"

Aku membalik data yang di tanganku, "semua jawaban dari pertanyaan anda ada di sana, Pak. Halaman ketiga."

Antara membaca kesimpulan yang kubuat, begitu selesai ia mendongak dan memandangku, "nah, aku mengerti. Silakan kembali ke ruanganmu, kau tak mau membuat orang salah paham kan? Apalagi dengan caramu menatapku."

Caramu menatapku?

Caraku menatapnya memang bagaimana? Aku mengendalikan emosi kemudian berdiri, "tidak, Pak. Anda sudah bersama banyak wanita cantik, jadi berada di sini dengan saya tentu tak akan pernah bisa mempengaruhi anda. Anda tidak akan bodoh merobek pakaian saya."

"Analisis yang akurat dan cerdas." katanya, tak bersahabat. Aku tersenyum formal dan permisi dari hadapannya.

***

"Jingga!" Yuna datang dengan seribu kehebohannya pada jam istirahat. Aku memutar mata dan meneliti beberapa angket yang kusebar ke divisi pelaksanaan. "Hei, workaholic sejati, ayolah... Ini jam istirahat."

JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang