4. Kompromi

51.2K 2.7K 118
                                    

Kurentangkan tangan dengan bebas, memenuhi paru-paru dengan udara pagi yang segar hingga rongga dadaku terangkat. Mataku menatap warna hijau menyeluruh dan beberapa pemetik daun teh memakai caping bambu berwarna cokelat. Bentuknya yang lebar mengingatkanku pada jamur. Aku tersenyum, angin sepoi mengibarkan rambut, membuat beberapa helainya jatuh menutupi mata. Kuperbaiki rambutku dengan menyelipkannya di belakang telinga.

"Dengan cara yang sama meski waktu berbeda," suara itu begitu dekat, aku menoleh dan melihat lelaki yang wajahnya diukir oleh tangan malaikat. Kalau ada yang bertanya, siapa orang yang paling kukagumi, pastilah itu dia. Tak hanya wajahnya yang mirip patung Adonis Yunani, kecerdasan dan dedikasinya pada pekerjaan luar biasa menginspirasi. Padahal usianya sudah 32 tahun, namun aku tertipu di pertemuan pertamaku. Kukira, ia masih berusia 28 tahun, selisih 2 tahun denganku. Ia menempuh pendidikan strata di fakultas kedokteran Universitas Indonesia dan pendidikan spesialis kejiwaan di Massachusetts. Meski alumni universitas bergengsi sedunia itu, ia memilih mengabdikan diri di lingkungan seperti Ciater, yang prospeknya kalah dibanding kota besar seperti Jakarta, Bandung atau Surabaya.

"Eh," aku tersenyum, "apa kabar?"

"Seperti yang kaulihat," katanya mengantongi dua tangan di saku celana, "kau sendiri?"

"Dengan jawaban yang sama." Balasku lalu menyeringai puas. Lelaki itu mengangguk dan menahan tawa.

"Bagaimana jika kita berlari ke sana?" ia menunjuk jalan setapak menuju jalan protokol, aku setuju. Kami mulai berlari kecil beriringan dan mengisi obrolan dengan pertanyaan ringan seputar kebun teh, udara, keringat dan beberapa kendaraan yang lewat. Wali mengajakku berhenti di pedagang kaki lima yang menjual minuman. Aku memicing, tak percaya. Melihat aku yang mendadak kaku, ia terkekeh sebentar.

"Sesekali makan di pinggir jalan, tak masalah." Rupanya, ia tahu apa yang kupikirkan. Aku sendiri tak masalah, mau makan-minum sampai nongkrong di pinggir jalan, tapi dia-seorang dokter-dan mengajakku makan di tempat seperti itu. "Mereka pedagang kecil, tak baik meremehkan kesterilan niat mereka menafkahi anaknya."

Bagian mana lagi dari lelaki itu yang tak memesona?

"Kok kamu malah bengong, Ji? Aku aneh, ya? Apa kalimatku seperti lelaki paruh baya yang kebanyakan ceramah?"

Ha?

Aku hanya mampu menggeleng ketika ia duduk di kursi dan memesan es cendol. Aku duduk di depannya dan memilih es jeruk sebagai pelepas dahaga.

"Jadi bagaimana? Kau sudah memikirkan tentang pekerjaan yang ada di sini?" ia membuka percakapan serius, dua tangannya tergeletak santai di meja, sementara dua mata hazelnya mengunci penglihatanku.

"Masih seperti bulan kemarin, dok, eh... Kak Wali." Aku memperbaiki sapaan, ia mengangguk, rahangnya kaku dan wajahnya yang semula terlihat enjoy-able jadi agak serius.

"Sebenarnya semua terserah padamu, aku hanya menyarankan saja. Namun, jika kamu tetap bisa memberi perhatian, kurasa tak masalah, hanya 'alangkah lebih baik' jika kamu berada seatap dengan ibumu." Ia menarik bibir, dua matanya melengkung ketika tertawa. Jenis eyesmile yang membuatku teringat pada Antara.

Antara?

Penjual minuman membawa pesanan kami dan mempersilakan untuk minum. Aku mengaduk  kemudian meminum dengan pelan. "Sebenarnya, aku ingin bekerja di sini, tapi... belum ada lowongan kerja yang sesuai dengan pendidikan strataku, Kak."

"Kudoakan yang terbaik untukmu." Ia begitu lembut dan sopan, aku tersenyum canggung sambil mengangguk mengamini doanya.

***

"Wow! Ini kebun ibumu?" Wali terperangah takjub ketika kami baru melewati gerbang dan melihat sisi kanan kiri pintu masuk yang ditanami strawberry dan beberapa bunga. Aku mengangguk.

JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang